Ammar membuka mata, kesadarannya kembali. Badannya terasa sangat berat untuk digerakkan. Ia menyibakkan pandangan ke sekelilingnya. Tempat yang tidak pernah ia pijak sebelumnya. Ia melihat sebuah jalan setapak satu arah. Di kanan kirinya ada pepohonan yang mengikuti jalan satu-satunya tersebut. Rumah-rumah yang kosong ditinggal pemiliknya. Ia takut. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Dalam keadaan takut yang sangat, Ammar dapat menggerakkan kakinya setelah bersusah payah. Setitik cahaya kemudian muncul di ujung jalan setapak itu. Awalnya ia takut untuk bergerak, ia pun memberanikan diri untuk melangkah ke tempat cahaya tersebut berada.
Ammar mendapati bulu kuduknya berdiri. Angin malam yang semilir ikut menambah suasana mencekam di sana. Lampu remang yang terpasang setiap dua meter memberinya secercah cahaya yang menerangi perjalanannya. Terlihat pepohonan di kiri kanannya. Tiada satu rumah pun yang nampak, pun hanya beberapa lampu jalan yang remang di setiap sepuluh meter sepanjang jalan setapak ini. Seperti dongeng, tapi inilah yang sedang ia lihat.
Cahaya itu perlahan-lahan mendekati Ammar. Ia berada dalam kondisi takut yang sangat. Ia mencoba melangkahkan kakinya untuk mundur, tidak bisa. Kakinya seakan-akan lumpuh dan tidak bisa digerakkan sama sekali, tetapi ia tetap kuat untuk berdiri. Bukan hanya kaki, bahkan seluruh badannya ikut-ikutan lumpuh. Ia akhirnya pasrah dengan keadaan.
Cahaya itu semakin dekat dengan Ammar. Dengan jarak beberapa langkah itu, ia bisa mengetahui bahwa cahaya itu adalah seorang lelaki.
Seseorang itu terus mendekat. Semakin dekat. Hingga jarak antara Ammar dan orang bercahaya itu hanya satu langkah.
“A..Anda siapa?” Tanya Ammar terbata-bata.
“Kamu jangan takut, Nak. Kamu pasti mengenalku.” Jawab orang itu.
Cahaya pada diri orang misterius itu perlahan-lahan memudar. Akhirnya nampak bahwa sosok itu adalah seorang lelaki tua yang mengenakan pakaian serba putih dengan tongkat yang membantunya untuk berjalan.
Ammar mengamati tongkat yang dipegang lelaki itu dengan seksama. Ia seperti tidak asing dengan benda itu. Ia baru sadar jika benda itu berada di atas lemari Ayahnya. Ayah selalu merawatnya dan tidak membiarkan debu menempel di atasnya.
Ammar mengarahkan pandangannya ke seluruh tubuh lelaki berbaju serba putih tersebut. Dari bawah ke atas, postur tubuh lelaki itu mirip dengan seseorang yang familiar dalam hidupnya. Sandal bakiak yang dipakainya pernah dipakai Ayahnya untuk pergi mengisi pengajian di masjid desa.
“Kakek?” Ammar mencoba menebak lelaki misterius itu.
“Iya, aku kakekmu.”
Seketika keheningan terjadi, Ammar tidak menyangka akan bertemu dengan kakeknya.
“Ini dimana, Kek?” Tanyanya penasaran.
“Ini alam kakekmu. Belum waktunya kamu sampai sini, tapi takdir berkata lain.” Kakeknya merangkulnya kemudian berjalan menyusuri jalan setapak itu.
“Ikut aku, terbanglah.”