Bidadari Langit Pesantren

Moore
Chapter #12

Mati Suri

Seorang diri Icha menunggui Ammar di rumah sakit. Sejak Ammar dibawa ke rumah sakit, Icha dan Halim selalu berada di sana, entah untuk mengawasi atau urusan lain yang tidak diketahuinya. Icha gelisah bukan main. Pikirannya kacau tidak karuan. Bayangan-bayangan tentang kejadian yang tidak diharapkannya menghantui pikirannya.

Ini adalah hari ketujuh setelah sadarnya Ammar beberapa menit, tepatnya hari kesepuluh setelah kejadian naas itu menimpanya.

Tadi malam. Ya, tadi malam dokter memvonis bahwa Ammar sudah tiada. Detak jantungnya berhenti dan denyutnya sudah tak terasa lagi.

 Icha tidak ingin bayangan-bayangan di pikirannya itu menjadi sebuah kenyataan. Ia takut sekali. Ia sangat cemas. Bayang-bayang tersebut segera ia buang jauh-jauh. Ia tidak menginginkan hal buruk terjadi pada Ammar. Ia belum siap jika semua itu terjadi.

Icha memejamkan matanya, sekhusyu’ mungkin ia berdoa untuk keajaiban Tuhan pada Ammar. Ia menggenggam erat tangan Ammar yang tidak mengisyaratkan adanya denyut. Dokter telah memvonisnya meninggal, tapi baginya Ammar tetap masih hidup. Waktu hampir menunjukkan pukul dua pagi. Sisa-sisa air matanya masih terlihat. Matanya sembab karena terlalu banyak air mata yang keluar. Ia menyeka sisa-sisa air matanya menggunakan kedua telapak tangannya.

Ayah dan Ibu Ammar pulang ketika mendengar berita tersebut. Mereka menyiapkan kepulangan jasad Ammar. Dokter menyatakan jika Ammar dapat dibawa pulang ke kampung halaman pagi setelah salat Subuh dan hasil otopsi keluar.

Perhatian Icha kepada Ammar sangat berarti. Icha tidak dapat melupakan pertolongan Ammar ketika pertama kali bertemu. Ada suatu rasa yang mengganjal di hatinya ketika melihat keberanian Ammar melawan pencopet di kereta waktu itu. Disaat penumpang yang lain hanya melihat, Ammar membuktikan bahwa tolong-menolong dalam Islam itu bukan hanya teori, tapi juga praktek. Jika suatu saat waktunya tiba, ia bertekad untuk mengungkapkan perasaan yang sudah lama ia pendam.

Rasa yang mengganjal di hati Icha perlahan-lahan berkembang. Dari yang awalnya hanya kecil hampir tak dapat dirasakan, kini ia hampir merasakannya setiap bertemu dengan Ammar. Entah rasa apa yang mengganjal di hatinya, ia sendiri pun tak tahu.

“Ammar ….” Bisiknya lemah.

Icha tak henti-hentinya memandangi Ammar, menatapnya lekat-lekat. Wajah Ammar yang pucat pasi, semakin menambah kesedihan yang ada dalam hatinya. Kedua mata Ammar yang masih terpejam dengan bibir yang sudah membiru, melubangi ruang kegelisahannya yang kosong. Ia rindu sekali dengan wajah Ammar yang ceria dan sifatnya yang humoris.

Inilah rasa tersebut. Yang ingin sepenuhnya menemani kekasih. Yang ingin selalu mendukung serta memberi perhatian ketika sedang membutuhkan. Yang selalu menggantungkan diri padanya. Yang perasaannya hampa jika ia tiada. Meskipun tidak terikat secara darah daging, rasa yang pertama kali muncul waktu bertemu membuat Icha tak mampu berpaling lagi.

Tak terbesit sedikitpun dalam benak Icha untuk meninggalkan Ammar. Tak ada sedikitpun bayang-bayang buruk tentang kondisi Ammar yang sekarang. Tidak mungkin ia tega melakukan semua itu. Yang ada dalam dirinya, Ammar masih hidup. Ia masih bernapas dan mendengarkan suara hatinya. Icha merasa perhatiannya kepada Ammar belum cukup untuk membalas kebaikan yang pernah Ammar lakukan kepadanya. Ia ingin sekedar memberikan perhatian kepada malaikat penolongnya.

“Ammar, aku disini. Sadarlah. Aku tidak mau kisah kita berakhir begitu cepat.”

Akan tetapi, sekarang Ammar hanya dapat terbaring tak sadarkan diri di rumah sakit. Lisannya tak berhenti sedikitpun untuk tidak memanjatkan doa kepada-Nya agar Ammar kembali ke dunia. Ia tidak ikhlas jika Ammar pergi terlebih dahulu sedangkan kebaikannya belum sempat dibalas. Ia ingin Ammar melewati masa-masa sulit yang dialaminya. Ia ingin sekali kembali berdiskusi masalah agama yang berhubungan dengan ilmiah. Alangkah menyenangkan jika ia bisa memandang kembali wajah tampannnya, senyumnya yang menawan, pandangan mata yang menyejukkan hati. Alangkah indahnya itu semua. Ia menginginkan itu semua.

Cinta adalah memberikan diri seutuhnya tanpa syarat apa pun. Cinta akan memberikan nyawa jika dituntut oleh orang yang dicintainya, bahkan sebelum yang dicintai itu memerintahkannya untuk memberikan nyawanya. Cinta bagai sebuah ikatan yang sangat kuat hingga segala sesuatu yang terikat olehnya akan rela untuk mengorbankan segalanya. Cinta adalah pengorbanan tanpa batas. Tapi, karena pengorbanan itulah seseorang lupa akan dirinya sendiri. Cinta juga dapat menjadi buta.

“Ammar, bangun. Plis, sadar buat aku.”

Lihat selengkapnya