Dua minggu berlalu, ingatan Ammar perlahan pulih. Ramuan yang diberikan dokter terbukti ampuh. Sedikit demi sedikit ia mengingat kembali siapa dirinya, tragedi yang menyebabkan ingatannya rusak, hingga tesisnya yang sebentar lagi selesai.
“Kalau semisal nggak memungkinkan buat ingat-ingat isi tesisnya, saya sedia bantu nyusun lagi dari awal”
Ammar ingat kata doktor pembimbingnya kemarin dan seketika separuh dari isi tesisnya menerobos masuk ke saluran ingatan otak, seperempatnya entah hilang kemana. Konsep pesantren modern, tolak ukur kesuksesan pesantren, hingga metodologi penanganan santri bandel sudah melekat kembali ke otak. Hampir semua isi tesisnya adalah hasil dari mondoknya dulu selama enam tahun, tentunya dengan pengembangan pemikiran yang mencerminkan kapasitas seorang seperti dirinya.
Setelah membaca Alquran, Ammar teringat tentang mimpi kakeknya waktu ia sedang koma kemarin. Ia masih bingung tentang apa yang dimaksud kakeknya dalam mimpi tentang pohon dan juga titipan di ujung langit. Kemarin saat bertanya kepada nenek, tidak ada hasil. Kedua orang tuanya juga tidak tahu apa arti dari mimpinya itu.
“Ayo keliling, Mas.” Suara adiknya membuyarkan lamunannya.
Mendung menyelimuti desa Cemandi. Hujan deras terus mengguyur desa hingga azan Subuh berkumandang. Bekas hujan tadi malam nampak jelas ketika dipandang. Mentari pagi tertutup oleh pekatnya awan sisa dari hujan. Awan hitam itu perlahan-lahan memudar hingga cahaya matahari bisa menembusnya sedikit demi sedikit.
“Ayo, Dek. Ke sawah.”
Ammar masuk ke kamarnya untuk berganti pakaian. Ia yang awalnya memakai sarung dan baju koko, kini ganti menggunakan celana training hitam dengan kaus hitam. Ia memilih kaus hitam karena warna hitam dapat menyerap kalor, cocok untuk suasana dingin seperti ini. Ia segera keluar mengikuti adiknya yang berjalan terlebih dahulu.
Awan hitam perlahan-lahan menjauh berganti dengan senyuman mentari pagi di ufuk timur. Udara pagi yang sejuk nan segar ditambah dinginnya suasana akibat hujan deras semalam membuat pagi ini menjadi waktu yang tepat untuk mengisi kesepian.
Ammar dan Azmy berjalan bersama menyusuri hamparan sawah hijau yang membentang luas hingga ke tepian bandara Juanda. Mereka berjalan terus hingga mereka menemukan beberapa lahan perikanan di sana. Hampir setiap beberapa langkah mereka bertemu dengan anggota TNI yang berolahraga pagi dengan pakaian khas mereka.
Di kanan mereka ada tembok pembatas antara wilayah angkatan darat dengan desa Cemandi, desa mereka. Sementara di kiri terdapat hamparan sawah yang luas, menjulang hingga menyentuh pagar tanda bahwa itu adalah kawasan bandara. Tak jarang pesawat melintas tepat di atas desa, terkadang juga beberapa tentara berlatih parasut di daerah ini.