Awalnya, ibu membawa ayah menuju ke dokter setempat. Akhirnya, atas rekomendasi dokter tersebut, ayah dibawa ke rumah sakit yang alatnya sudah maju dengan dokter spesialis jantung untuk menjalani pemeriksaan yang lebih lanjut. Ibu dan nenek mendampingi ayah di belakang. Pakde dan bude berada di depan. Pakde lah yang menyetir mobil sedan kesayangan ayah. Ayah melirik sebentar ke ibu. Sorotan matanya menunjukkan jika ayah masih ingin menyetir sedan abu-abunya lagi.
Dalam perjalanan menuju dokter, ayah tiba-tiba mengejutkan pakde, bude, nenek dan ibu.
“Bu, raket badminton di rumah rusak. Tolong diperbaiki ya, kasian nanti kedua anak kita tidak bisa bermain lagi.”
Dalam kondisi yang sangat lemah seperti itu, ayah masih memikirkan raket yang biasa ia gunakan bermain bersama Ammar dan Azmy. Keesokan harinya, pakde membawa raket tersebut untuk diperbaiki. Begitulah kasih sayang orang tua kepada anaknya meskipun dengan keaadaan yang sedemikian halnya.
Setelah menjalani pemeriksaan, kondisi ayah masih belum membaik, pun dengan pengawasan dokter spesialis jantung. Sakit yang diderita ayah perlahan-lahan pergi, tetapi beberapa saat kemudian kembali lagi. Ibu memutuskan untuk merawat ayah di rumah agar tidak merepotkan kerabat.
Kondisi ayah semakin buruk. Ayah banyak menghabiskan waktu di kamar tidur. Dari luar kamar yang sejajar dengan kasur ayah, ibu selalu memantau sembari memasak dan menyiapkan obat yang harus ayah minum. Kadang ibu membuatkan secangkir teh hangat kesukaan ayah dan memijat kakinya. Ibu tidak pernah jauh dari ayah. Ibu juga minta cuti semenjak ayah jatuh sakit.
“Bu, siapa yang akan mengajar ngaji anak-anak pesantren kita kalau ibu terus seperti ini? Kan setiap guru punya kelas sendiri . . .” Kata ayah pelan.
“Ayah yang tenang. Ibu sudah digantikan temannya Ammar.”