Bidadari Langit Pesantren

Moore
Chapter #18

Nafas Terakhir

Dua bulan berlalu setelah kepergian Ammar ke Jakarta, obat ayah habis. Sakit ayah belum kunjung sembuh dengan obat yang sebegitu banyaknya dan bervariasi. Kondisi ayah semakin memprihatinkan. Dalam keadaan seperti ini, ayah mengirim sebuah SMS kepada Ammar

“Nak, aku berdoa. Kelak nanti bila engkau tiba di usiaku ini, paling tidak . . . Bumi kita masih seindah begini.”

Ayah juga sering menulis beberapa kalimat yang sangat menyentuh hati ibu. Bukan karena kasih sayangnya pada ibu, melainkan tentang hal-hal yang mengisyaratkan kematian. Puisi itu ayah dapati di buku milik Prof. Habibie, presiden ketiga Republik Indonesia. Ayah sangat suka puisi tentang keindahan alam, tapi kali ini ayah lebih memilih puisi tentang perpisahan.

Aneh, tapi itulah yang terjadi.

Selama aku masih meniti cakrawala

Sejujurnya . . .

Aku tak mendapati apa-apa

Kecuali malu yang tak terhingga

Karena . . .

Aku telah mencari sesuatu yang hampa.

Kugantung surga . . .

Kukunyah angkasa . . .

Ternyata ku tetap terurai

Dalam bias-biasnya.

Saat aku mulai menghitung keinginan,

Aku terjebak dalam ketidakpastian

Saat kumulai menghitung iman

Terpenjaralah aku . . .

Dalam keabadian.

Ibu terus membuka lembar demi lembar buku catatan yang ada disamping ayah ketika ayah sedang tertidur. Ibu semakin kaget melihat kelanjutan apa yang ayah tulis.

Lihat selengkapnya