Bidadari Langit Pesantren

Moore
Chapter #19

Api Kesedihan Yang Membakar

Hari itu penuh dengan kesedihan dan air mata seakan sebuah bencana telah tiba. Ada yang memukul-mukul lutut, menjambak rambut, dan melipat punggungnya. Mereka duduk menangis tersedu-sedu di sebuah rumah yang penuh dengan aroma keberkahan. Ada juga seorang yang meluapkan kemarahannya entah karena tidak ingin menerima kenyataan yang pahit ini. Ia berpikir bahwa ia tidak akan bertahan karena ditinggalkan.

Sebenarnya ada kasih sayang, kehormatan, dan cinta yang bersemayam dalam kemarahan itu. Bisa jadi kemarahan itu merupakan ekspresi penyangkalan terhadap peristiwa menyedihkan saat itu.

Sangat aneh!

Lelaki itu sebelumnya menjadi musuh bagi rakyat desa Cemandi, yang sering menykiti orang yang mencegahnya, yang membuat warga selalu resah akan perbuatannya. Namun, sekarang ia tak tahan dengan kata “mati” untuk orang yang menjadikannya sebagai pelindung desa, pahlawan serta penyelamat desa dari ancaman orang yang ingin berbuat jahat pada desa.

Ketika ayah datang, api cinta sejati akan kebaikan ayah, membara dalam hati setiap orang. Ketika ayah pergi, maka api perpisahan pun membakar hati mereka yang mencintainya. Setiap orang mengekspresikan kesedihannya dengan cara yang berbeda. Abid, si preman desa yang menetap di jalan kosong di sebelah barat desa, juga mengekspresikan kesedihannya dengan cara yang khas.

Ketika ayah hadir di tengah masyarakat, setiap warga menunjukkan kegembiraan mereka. Datangnya seorang ahli ilmu membuat segala sesuatu menjadi bermakna dan bernilai serta menunjukkan keindahan Sang Pencipta. Ketika ayah pergi meninggalkan mereka, pastilah semua menangis dan tak mengira akan secepat ini ditinggalkan.

Saat ini mereka sedang menangisi sebuah perpisahan.

Elsa, seekor kucing persia kecil dan mungil yang ada di rumah ayah pun pasti merasakan kesedihan karena akan tinggal tanpa ayah lagi. Ia tidak berselera untuk makan dan minum. Ia tenggelam dan larut dalam kesedihan. Jika saja Elsa memiliki suara seperti manusia, niscaya teriakannya akan terdengar jelas mengisyaratkan kesedihannya.

Seluruh permukaan bumi ikut menangis. Demikian pula langit. Alam para malaikat juga merasakan hal yang sama, turut serta bersedih terhadap meninggalnya seorang ahli ilmu. Bunga-bunga anggrek yang ada di depan rumah ayah kini terlihat menunduk layu.

Jika engkau berpikir bagaimana bisa bumi, langit, dan seluruh makhluk hidup yang ada di dalamnya bisa menangis karena dicabutnya ruh seorang ‘alim yang mengabdikan dirinya pada masyarakat. Ingatlah kembali dengan yang ini, “Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan merekapun tidak diberi pengangguhan waktu[1].”

Lihat selengkapnya