Pagi menyongsong, mentari telah keluar dari peraduannya. Embun menempel di kaca rumah pertanda udara di luar agak dingin. Awan menyelimuti langit Desa Cemandi. Ammar telah bangun tiga jam yang lalu. Ia telah menunaikan salat tahajud dan membaca al-Quran hingga waktu subuh tiba.
Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar[1].
Ammar mencoba meresapi ayat-ayat suci al-Quran yang ia baca. Ayat tentang sabar terus mengingatkannya pada peristiwa satu bulan silam di mana ia harus merelakan kepergian dua orang yang sangat dicintainya. Dua malaikat terdekatnya. Ayahanda tercinta dan adik semata wayangnya yang selalu ceria kala suka maupun duka.
Ammar mencoba menghapus ingatan itu, ia tidak ingin kesedihannya kembali menguasai pikirannya. Ia mencoba melupakan peristiwa tersebut, tapi itu sangat sulit baginya. Ia mencoba membelokkan ingatannya menuju hal lain, tetap tidak bisa. Ingatan itu selalu menempel di pikirannya. Sangat sulit untuk dilepaskan bahkan dengan besi dan baja sekalipun.
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “innalillahi wa inna ilaihi roji’un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).
Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk[2].
Ammar mengamini dalam hati dari bacaan al-Quran yang baru saja ia baca. Ia berharap jika sabarnya akan mengantarkan kepada rahmat Allah yang diharapkan oleh seluruh hamba-Nya di muka bumi ini. Ia kemudian menghentikan bacaan al-Qurannya karena azan Subuh berkumandang. Ia membangunkan ibu dan mengajaknya untuk salat berjamaah di musalla dekat rumah.
Jalanan masih sepi, hanya ada satu dua orang yang berlalu lalang di pagi berawan ini. Aliran sungai di sebelah kanan Ammar menyertai langkah kakinya untuk menjawab panggilan-Nya. Embun pagi yang masih menumpang di dedaunan hijau mengisyaratkan hasratnya yang ingin menuju musalla untuk memenuhi panggilan Rabb-nya.
Usai salat di musalla, Ammar kembali tenggelam dalam bacaan al-Quran di kamarnya. Ia menunggu waktu duha tiba karena ada janji dengan neneknya di pagi hari. Ia harus berangkat ke rumah nenek pagi ini karena ada hal penting yang harus dibicarakan. Ia segera salat begitu mengetahui jika waktu telah menunjukkan jika Duha telah tiba. Angin di luar mengiringi gerakan salatnya dan surah yang dibacanya.
Jarang sekali nenek menelepon minta dikunjungi pagi hari. Biasanya Ammar akan mampir setelah ada acara seminar ataupun mengisi beberapa kajian di kampus. Tapi kemarin malam nenek mendadak minta dikunjungi pagi harinya.
Belum sempat ia mengeluarkan sepedanya yang akan ia gunakan menuju rumah nenek, Ammar mendapat sebuah telepon dari seseorang. Dari Icha.
“Wa’alaikumsalam, Cha. Ada apa?”
“Kamu sudah melihat berita dari universitas belum?”
“Belum, kenapa emangnya?”
“Kamu liat sendiri aja. Pokoknya kabar baik.”