Sesampainya di rumah, Ammar menceritakan apa yang baru saja ia bicarakan dengan nenek kepada ibunya. Ibu menyimak apa yang diceritakan Ammar dengan seksama.
“Nanti ibu bantu nyari, kamu nyapu rumah dulu.”
“Okay.”
Ammar mengambil sapu dan beranjak membersihkan seisi rumah. Saat sedang menyapu ruang tengah, matanya tiba-tiba melirik ke gudang tempat penyimpanan barang bekas seakan ada yang menuntunnya untuk melihat kesana. Firasatnya mengatakan jika ada sesuatu yang mengganjal di sana. Ia segera menyelesaikan tugas menyapunya.
Ammar melihat ibu masih mencari surat wasiat tersebut di kamar ayah. Ibu membuka lemari pakaian ayah, mencari di kasur, hingga di dalam saku baju yang sering ayah pakai. Ammar berbelok ke kamarnya dan mengurungkan niatnya untuk menuju gudang.
“Ibu nggak nemu apa-apa di kamar ayah.”
“Apa mungkin yang dikatakan nenek itu salah?” Tanya Ammar dalam hati.
“Nggak usah dipikir surat wasiatnya. Ibu mau berangkat ke kantor koperasi dulu.”
Di samping bekerja sebagai guru mengaji dan membuka butik, ibu juga menjabat sebagai bendahara di koperasi desa. Terkadang ibu bekerja di depan laptop hingga tengah malam untuk menyusun data tentang simpanan pokok, simpanan wajib, dan SHU[1]. Ibu juga merangkap sebagai bendahara di TPQ setempat.
“Ibu ini kalau nggak pegang uang pasti langsung pusing kepala.” Kata ibu saat sedang sakit dulu.
Meskipun yang dipegang itu bukan uangnya sendiri, ibu tetap menjalankan kewajibannya sebagai bendahara. Uang tersebut adalah uang yang diamanahkan kepadanya sesuai apa yang ia jabat sekarang.
Ammar mencium punggung tangan kanan ibunya. Ibu menyalakan sepeda motor dan berangkat menuju kantor koperasi yang letaknya di sebelah utara masjid. Jarak antara koperasi dengan rumah tidak seberapa jauh, dapat ditempuh dengan menggunakan sepeda. Ibu lebih suka untuk menaiki sepeda motor untuk berangkat ke sana karena untuk menghemat waktu.
Ibu telah pergi menuju kantor koperasi. Ammar mengunci pintu setelah memastikan ibunya sudah berbelok di pertigaan. Ia melangkahkan dirinya menuju gudang yang membuatnya penasaran. Beberapa langkah sebelum mencapai gudang, handphonenya tiba-tiba berbunyi. Suara itu berasal dari dalam kamarnya. Ia membalikkan badan dan melangkah menuju kamar tempat handphonenya berada. Handphonenya terus berdering, ternyata dari Icha lagi. Ini adalah telepon kedua Icha di pagi yang mendung ini.
“Halo, Cha. Kok telepon lagi?”
“Barusan aku dapet telepon dari Halim, katanya kangen sama Azmy.”
“Wahh . . .”