Ammar bangkit, ia tidak ingin berlama-lama hingga akhirnya terlena dengan euforia ini. Hatinya kembali condong kepada gudang di pojok rumah. Rasa penasaran menguasainya. Ia melangkahkan kaki.
Ammar membuka pintu gudang yang terkunci. Kedua matanya langsung terpaku pada wadah raket milih ayahnya yang berada tepat di antara tumpukan kardus bekas. Ayahnya yang dulu seorang pakar agama, juga merupakan seorang pemain badminton yang handal. Ayah sering mewakili kabupaten untuk bertanding di tingkat provinsi. Ayah ahli di bidang tunggal putra.
Semua yang ada pada diri Ammar, tak luput dari keahlian sang ayah. Benar kata pepatah jika buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya. Tabiat yang dimiliki Ammar hampir seluruhnya mirip dengan ayahnya. Ia dulu terkenal sebagai pemain badminton tunggal putra terbaik di pesantren. Beberapa perlombaan internal pesantren selalu ia yang menjadi juaranya.
“Ayah pingin liat kamu masuk kejuaraan badminton di layar kaca.”
Itulah yang dikatakan ayahnya ketika kalah berduel dengan Ammar sebelum menjadi seorang mahasiswa. Ayah sangat menginginkan dirinya menjadi pebulu tangkis profesional di balik seorang anak yang paham tentang ilmu agama. Hal tersebut yang mendorong hatinya berkata jika ia harus pergi ke gudang melihat wadah raket milik ayah.
Perlahan-lahan Ammar membuka wadah raket tersebut. Warna abu-abunya hampir memudar ditambah debu di setiap sudutnya. Dari atas wadah hanya terlihat benang-benang raket yang masih terikat kuat. Semakin ke bawah, rasa penasarannya semakin memuncak. Begitu wadah tersebut hampir terbuka seluruhnya, ada secarik kertas yang terjatuh. Kertas itu dilipat dengan rapi disertai pita yang mengikatnya.
Betapa kagetnya Ammar waktu itu, ia menemukan surat wasiat ayah. Sebuah surat yang ditulis langsung oleh ayahnya. Di bagian terluar kertas ada tulisan jika surat itu khusus untuknya dan tidak untuk orang lain. Perlahan ia membuka pita yang mengikat diteruskan lipatan-lipatan surat tersebut.
Assalamu’alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Nak, bagaimana kabarmu dan ibu? Semoga keadaanmu dan ibu selalu sehat serta senantiasa dalam naungan dan perlndungan Allah. Saat kamu membaca surat ini, mungkin ayah tidak bisa lagi melihatmu untuk selamanya. Sekarang pasti sudah selesai magister, ya? Semoga ilmu yang kamu dapatkan dapat memberi manfaat bagimu dan khalayak umum.
Anakku tercinta,
Ini adalah wasiat yang disampaikan ayahmu, Wahyudi bin Abdullah ketika maut akan menjemputnya. Ketika ia akan meninggalkan kehidupan dunia dan ketika pertama kali menapakkan kakinya memulai perjalanan akhiratnya. Ketika datangnya kebenaran kepada kelompok yang menyesatkan. Ketika tobatnya orang yang berbuat dosa setelah datang kebenaran kepada mereka. Ketika para pembohong harus bertanggung jawab terhadap apa yang mereka katakan.
Ayah memperkenankan engkau anakku, Murfiqul Ammar agar menjadi penerusku. Engkau akan menggantikan ayah sebagai penceramah rutin di masjid desa. Tugas dari ayah di dunia ini telah selesai, tetapi keburukan masih terus berlanjut dan tak akan berhenti.
Anakku tersayang,
Ketahuilah, jika engkau terpaku, tidak bisa melupakan sesuatu, engkau tidak akan bisa melakukan hal yang baru. Perhatikan baik-baik hal ini, wahai anakku! Jangan sampai engkau terpaku dengan kepedihanmu. Kepedihan sejatinya adalah guru yang paling bijak. Hanya dengan melewati kepedihan itulah kita bisa mendapati nilai kemuliaan. Kalau tidak, kepedihanlah yang akan menelan kita mentah-mentah bagaikan diri kita seperti benda yang berada dalam lumpur hisap kemudian tenggelam secara perlahan.
Wahai anakku, hanya ini yang bisa ayah sampaikan kepadamu. Ayah akan terus menyertaimu sepanjang kau masih berpegang teguh pada ajaran Islam ahlussunnah. Setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap waktu ayah selalu melihatmu meskipun kau tidak bisa meihat ayah. Ayah akan selalu memandumu agar tidak terperosok ke dalam lubang yang dalam. Ayah titip setetes air mata cinta pada ibu. Semoga Allah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, dan inayahnya kepada kalian berdua. Amin ya robbal ‘alamin.
Wassalam,
Salam Ta’dhim