Pagi menyongsong, sinar mentari pagi menembus jendela kamar Ammar. Hangatnya terasa hingga di kulit lapisan yang paling dalam. Mata Ammar perlahan-lahan terbuka. Tangannya menutupi sinar yang menerobos menuju kedua matanya. Ia merenggangkan otot-ototnya. Kehangatan pagi sangat memanjakan dirinya.
“Ahh . . .” ucap Ammar sambil melakukan peregangan tangan.
Entah kenapa ia merasa sangat malas untuk beraktivitas di pagi hari ini. Apa karena sekarang adalah hari Minggu? Ia melihat kalender di samping lemarinya, jadwalnya kosong hari ini. Tidak ada jadwal ceramah, mengisi seminar, dan hal lain yang menyibukkan dirinya. Hanya ada acara majlis sholawat yang rutin diadakan setiap malam Senin bersama pemuda-pemuda kampung.
Ammar memutuskan untuk tidur kembali, badannya sangat letih seteah mengisi seminar keorganisasian dan ceramah secara beruntun di dua tempat berbeda kemarin malam. Ia menyalakan kipas angin dan menjatuhkan diri di kasur nan empuk. Ia menyempatkan diri untuk melihat jam terlebih dahulu, masih pukul enam pagi. Ia mengatur alarm pada jam sebelas siang agar tidak kelewat jamaah salat Duhur di musalla setempat.
Sebelum tidur, Ammar melihat sekilas berita yang kemarin terjadi di televisi. Entah berita tentang olahraga, politik, ekonomi, nasional, hingga internasional. Setelah dirasa cukup, ia pun mulai memejamkan matanya perlahan. Belum sempat ia larut dalam mimpi, Ibu mengetuk pintu kamarnya.
“Sebentar, Bu.” Jawab Ammar sambil berjalan menuju pintu.
Ammar membuka pintu kamarnya.
“Ibu tolong belikan tempe, Nak.”
Ammar heran, jarang sekali Ibu membangunkannya di pagi hari hanya untuk membeli lauk sarapan. Ia berpikir, pasti ada sesuatu yang aneh hingga Ibu menyuruhnya.
“Baik, Bu.”
Ammar segera mengeluarkan sepedanya. Ia merasa malas untuk berjalan menuju warung penjual tempe yang berada tepat di ujung gang. Padahal jarak rumahnya dan warung tersebut hanya puluhan meter saja. Ia mengayuh sepedanya menuju ke sana. Ternyata tutup. Ia memutuskan untuk mencari di warung gang sebelah. Tutup juga.
Setelah mencari-cari warung yang menjual tempe ke seluruh pelosok desa Cemandi, ia pun menemukan sebuah warung kecil di dekat masjid. Ia bertanya pada pemilik warung perihal ada atau tidaknya barang yang dipesan Ibu. Ternyata tidak ada juga. Itu adalah warung terakhir yang ada di desa Cemandi. Selebihnya, hanya warkop dan toko barang.
Ammar tidak berniat untuk mencari tempe di luar desa karena rasanya tidak sesuai dengan lidah Ibu. Tempe yang dibuat warga sekitar memiliki ciri khas sendiri dalam cita rasa.
“Terpaksa deh beli tempe di kampung sebelah.” Gerutu Ammar.
Saat roda sepeda itu akan kembali berputar, ada seseorang yang tiba-tiba menepuk Ammar dari samping kanannya.
“Eh kamu Lih, ngagetin orang saja. Apa kabar?”