Ammar membuka pintu, bau bawang yang digoreng ibu menyambut kedatangannya.
“Maaf Bu agak telat. Tempenya habis. Ammar udah muter dari ujung sampe ujung desa. Untung tadi ada Galih beli tempe agak banyak, jadi ini dikasih beberapa.”
“Galih sering main kesini, apalagi pasca ayah dan Azmy meninggal. Cuman kamu aja sih sering keluar, sok sibuk pula. Jadi kalian nggak pernah ketemu.”
“Bukan sok sibuk, tapi emang diminta buat ngisi acara.”
“Sekali-kali mampir ke kebun ayah. Kamu ini anak kandungnya malah nggak mau ikut ngerawat.”
“Kan udah dipasrain sama Galih.” Ammar mengelak.
Ibu hanya tersenyum. Ammar pamit menuju kamarnya. Ibu mengingatkannya untuk tidak tidur lagi di pagi ini. Salat Duha, murojaah hafalan al-Quran, dan menghafal tiga hadits adalah sarapan rohaninya. Entah sudah berapa tahun ia menghafal al-Quran tapi tak kunjung hafal. Dari masa ia masih berada di pesantren waktu SMP, hingga saat ini setelah lulus dan mendapat gelar magister.
“Aduh, susah banget ngapalnya.” Gerutunya.
Mungkin karena agenda yang terlalu padat membuatnya sulit sekali untuk menambah hafalan. Kadang juga ia bersyukur karena hafalan al-Quran miliknya tidak ada yang hilang, ya meskipun tidak ada kemajuan dan stagnan belasan juz saja.
Tak terasa, tiga puluh menit beralalu.
Ammar menyalakan televisi, tidak ada acara yang menarik perhatiannya. Ia memilih untuk mencari berita di internet. Laptop dibuka, wifi dinyalakan, dan ternyata ada sebuah pemberitahuan baru di emailnya.
Kepada
Anak Didikku Tercinta
Murfiqul Ammar
Di Desa Seribu Sawah