Bidadari Langit Pesantren

Moore
Chapter #29

Penolakan Halus Ibu

Begitu selesai membaca pesan dari Pak David, Ammar segera memberitahu ibunya kabar gembira tentang beasiswa Leiden itu. Ia segera melangkahkan kaki menuju dapur tempat ibu sedang memasak sarapan.

“Bu, aku dapat beasiswa.”

“Wah, beasiswa apa?” Ibu tak memalingkan muka dari tempe yang berendam.

Ammar ragu untuk menyampaikan. Ia berpikir ulang. Ketika beasiswa ini diambilnya, maka ibu akan tinggal sendirian di rumah. Sungguh sedih jikalau melihat ibu kandung hidup sebatang kara tanpa ada yang menemani. Terlebih, ibu sudah memasuki usia kepala lima.

Ammar memberanikan diri untuk menyampaikan perihal beasiswa tersebut kepada ibu. Ia berharap jika ibunya dapat memahami keinginannya untuk melanjutkan studi di luar negeri jika ada kesempatan. Tak ada satu pun kalimat yang terlewat, semua sudah disampaikan.

“Menuntut ilmu itu bagus banget, ibu bakal terus mendukung. Toh udah diperintah di al-Quran maupun hadits, mana mungkin ibu ngelarang.”

Ammar tampak antusias mendengar jawaban ibu.

“Tapi banyak juga hadits tentang birrul walidain, tentang berbuat baik pada orang tua, apalagi untuk seorang ibu. Sekali lagi ibu nggak pernah ngelarang keinginan kamu, Nak, malahan ibu mendukung dan selalu mendoakan. Tapi, rumah ini bakal kelihatan lebih longgar lagi ketika beasiswa itu kamu ambil.”

Ammar terdiam sejenak, berpikir bahwa semua yang dikatakan ibu adalah kenyataan. Jika ia harus pergi untuk mengambil beasiswa itu, otomatis ibu akan sendiri di rumah. Tapi kan ada Galih? Ada Sinta juga yang bisa ikut kesini?

Kasih ibu itu luas. Seluas-luasnya kasih ibu pada semua yang diasuhnya, entah itu anak tiri, santriwati ayah yang sekarang diasuh ibu, anak-anak TPQ yang dibimbingnya, tetap saja kasih sayang terbesar adalah untuk anak kandungnya, darah dagingnya.

“Belanda bagus banget kok sejarahnya, cocok buat kamu. Apalagi literatur Jawa kuno yang tersimpan rapi beserta naskah aslinya.”

Dugaan Ammar benar, ibu pasti tidak merestui kepergiannya. Ibu menolaknya dengan halus. Ibu tidak mau menyakiti hati Ammar. Bahasa yang digunakan ibu untuk menolak permintaan Ammar sangat menyentuh hati. Ammar sadar jika memang itulah kehendak Ilahi. Ia harus menerima dengan lapang dada. Ia tidak ingin menjadi anak yang durhaka kepada orang tua. Ia hanya diam.

“Terus berpikir ilmu itu baik, tapi apa pernah Ammar mikir tentang menikah?”

Ammar kaget, pertanyaan yang menyerupai sindiran itu sangat membekas dalam hatinya. Mungkin benar kata ibu, ini memang waktunya untuk mencari separuh imannya yang masih semu. Tapi siapa? Ia terus menunduk. Merenungi apa yang dikatakan ibu barusan.

Saat itulah Ammar memahami jika mendengar adalah kebutuhan yang lebih mendasar daripada melihat dan menjawab dalam puasa yang begitu panjang. Karena itulah, beban seorang tunarungu jauh lebih berat daripada beban seorang tunanetra dan tunawicara. Sebab, suara dan kata-kata adalah unsur yang akan memberikan kehangantan pada manusia.

“Dengar, Le. Ibu ikhlas kamu untuk pergi ke Belanda, tapi ibu minta satu hal. Ibu pingin lihat kamu di atas pelaminan, tersenyum bahagia dengan calonmu kelak. Toh nanti kalau kamu jadi ke Belanda, ibu juga ada teman di rumah.”

Lihat selengkapnya