“Ayo, Mas. Sudah jam tujuh ini.” Ajak Sinta.
“Kemana emangnya?” Tanya Galih penasaran.
“Katanya mau diskusi rutin sama temen-temen di musalla.” Sinta mengingatkan.
“Astagfirullah, tunggu ya. . .”
“Cepet lo.”
Galih masuk ke kamarnya. Baru saja ia selesai mandi dan mencuci baju, ia tiba-tiba diingatkan adiknya tentang dirinya yang ingin bertemu Ammar dan meminta beberapa petuah darinya. Dua hari yang lalu, ia mengajak Ammar untuk bertemu di musalla tepat pukul tujuh pagi.
Usai berganti pakaian, Galih segera berangkat diikuti Sinta yang duduk di bagian belakang motor. Sesampainya disana, sudah ada Mila, Vira, dan Ibrahim yang duduk sambil berbincang menunggu kedatangannya.
“Maaf, Mar. Lupa tadi. Untung Sinta yang ngingetin.” Ucap Galih sambil garuk-garuk kepala.
“Belum tua udah jadi pelupa aja nih.” Balas Azril yang menemani Ammar membawa teh hangat dari warung sebelah.
Ammar baru mengetahui wajah Sinta sekarang. Sejak sepuluh tahun yang lalu, ia tidak pernah lagi bertemu dengan Sinta karena berada di pesantren. Kini Galih lah yang belajar pada adiknya tentang ilmu agama. Padahal dulunya Galih yang mengajari Sinta mengaji beberapa kaidah fiqh dasar.
“Sinta kapan pulang?” Ammar bertanya.
“Udah dua minggu aku di rumah, Mas. Lagian di pondok nggak ada kegiatan juga, mending pulang.”
Sinta sudah menjadi pembimbing di pesantrennya. Setelah hampir delapan tahun menempuh pendidikan pesantren mulai dari dasar, kini ia harus menjalani kewajiban sebagai alumni, yaitu mengabdi di almamaternya sekitar dua tahun lamanya.
“Bukannya waktu Idul Adha nggak ada libur?”