“Lif, segera persiapkan soal. Lomba dimulai sepluh menit lagi nih.”
“Okaayy ...”
Halim sangat sibuk hari ini. Ia terpilih sebagai penanggung jawab lomba cerdas cermat Islam di pesantren. Di perayaan Muharram kali ini, warga MBI mengadakan beberapa cabang lomba, salah satunya cerdas cermat Islam atau biasa disebut CCI. Ajay selaku ketua panitia, tentu lebih sibuk daripada Halim. Ia seringkali pesimis, kepikiran jika acara yang dipimpinnya tidak sukses.
Kelima ruang yang akan digunakan untuk penyisihan lomba telah siap. Masih-masing kelas ditempati oleh dua tim dari santri putra. Total ada sepuluh kelas yang bertanding guna memperebutkan dua tiket untuk maju ke babak semifinal.
Halim berkeliling memutari seluruh ruangan untuk memastikan jika semua ruangan sudah memulai babak penyisihan. Tiba-tiba ia kembali teringat bayang-bayang Azmy, sahabatnya yang merupakan atlet di bidang CCI. Azmy dulu pernah memenangkan lomba CCI tingkat nasional di UNAIR, meskipun harus rela sebagai runner-up. Tidak hanya itu, Azmy-lah yang membuat pondok Amanatul Ummah ini menyabet gelar juara umum di perlombaan Islami tingkat Jawa Timur di SMAN satu Sidoarjo.
Halim berusaha menepis kesedihan yang mendatanginya ketika terbayang wajah Azmy yang selalu ceria, apalagi saat berlomba dengan sekolah lain, ia nampak bahagia membawa nama baik pesantren dan lembaga.
Begitu kesedihan hapir menguasainya, mendadak Halim dipanggil oleh seseorang. Ia memasrahkan babak penyisihan CCI tersebut pada Alif. Ia pun segera menuju ke depan kantor untuk mengetahui siapa yang memanggilnya.
“Sini, Lim.” Panggil orang tersebut.
Halim mengarahkan pandangannya menuju sumber suara, ternyata Ammar, kakak kandung Azmy yang sedang berbincang dengan Pak Ahmad, coordinator pesantren. Halim pun ikut duduk di sana dan mendengar perbincangan mereka berdua. Pak Ahmad menyatakan kehilangannya karena ditinggal seorang murid yang bertalenta seperti Azmy.
Ammar menanggapi apa yang dikatakan Pak Ahmad dengan tanpa kesedihan mendalam. Kadang kala ia tersenyum, kadang juga menunduk murung. Entah ia bersedih atau sengaja untuk tidak menanggapi.
“Adikmu sangat berkesan di pesantren ini, Nak. Sangat suit bagi saya pribadi untuk melupakannya.” Ucap Pak Ahmad dengan nada rendah.
Ammar hanya mengangguk dan terus menundukkan kepalanya.
“Kamu dapat melihat dua piala milik adikmu disana.” Pak Ahmad menunjuk sebuah piala di dalam sebuah lemari kaca berukuran besar dekat tempat pendaftarn santri baru.
Ammar melangkahkan kakinya ke sana diikuti Halim yang berjalan di belakangnya. Hali menunjukkan dua piala Azmy dari menang lomba CCI di UNAIR dan PAI di UIN Malang.
“Piala kaca yang didapat dari lomba di Malang bagus ya, Mas.”
“Iya, Lim. Bagus banget. Pasti lombanya bergengsi.”
“Azmy orangnya hebat. Sejak kelas satu sudah terlihat talentanya di bidang agama. Waktu seleksi persiapan olimpiade PAI di Surabaya, ia dapat mengalahkan delapan pesaingnya yang mayoritas adalah kakak kelasnya sendiri. Tidak hanya itu, ia juga mendapat nilai tertinggi di antara kakak kelas lain yang juga ikut serta.” Puji Pak Ahmad.
Ammar terus memperhatikan piala kaca yang ditunjukkan Halim. Dulu waktu ia hampir lulus, lemari kaca itu masih longgar. Sekarang, piala-piala yang ada di dalamnya harus rela berdesakan demi mendapat tempat yang spesial di MBI. Terkadang ada beberapa piala lama yang diganti piala baru sebab telah rusak dimakan rayap.
“Dulu pialanya cuman sedikit. Lemari kaca luas ini hanya terisi belasan piala hasil prestasi santri. Kini ada ratusan piala hingga beberapa harus dibuang, diganti dengan prestasi baru.”
Halim terus bercerita tentang Azmy, bahwa ia pernah dua kali mengukir sejarah di MBI. Pertama, saat perlombaan imathoh di UIN Malang. Kakak kelas menyatakan bahwa baru kali ini pondok kita dapat menembus final meskipun berakhir dengan juara tiga. Sejauh ini, hanya anak generasi Travesvolt yang dapat menembus final, yaitu Azmy, Mukrom, dan Hasan yang merupakan tonggak kesuksesan MBI untuk perlombaan Islami kala itu. Pernah tiga tahun yang lalu ada anak MBI yang lolos penyisihan, tetapi harus tereliminasi di babak semifinal.
Kedua, saat perlombaan CCI di UNAIR. Waktu itu, dari delapan tim delegasi MBI, hanya dua tim yang berhasil lolos. Tim Azmy dan tim anak PAI kelas tiga. Akhirnya, dua kelompok tersebut lolos hingga babak final tetapi hanya Azmy yang masuk tiga besar dan berakhir dengan posisi runner-up.