Pagi ini agak mendung. Para santri satu per satu kembali ke asrama. Kebanyakan dari mereka menggunakan jaket atau sweater. Maklum, hawa pegunungan ketika musim hujan selalu dingin. Ammar duduk di masjid hingga semua santri keluar, lantas langsung menuju ndalem atau rumah Kiai.
“Assalamu’alaikum.” Ammar mengetuk pintu ndalem yang sedikit terbuka.
“Wa’alaikumsalam.” Seorang wanita paruh baya menjawab salam Ammar. Ia mempersilahkan Ammar untuk duduk terlebih dahulu di ruang tamu.
Tidak lama kemdian, Romo Kiai Asep muncul dari lantai dua. Pakaian beliau seperti biasa, sederhana, tetapi tidak mengurangi sedikitpun wibawa beliau. Baju koko putih dengan balutan jas hitam dan kopyah putih adalah hal yang normal bagi santri pondok pesantren Nurul Ummah ketika melihat beliau.
Ammar segera mencium punggung tangan kanan beliau. Ia menyambut kedatangan beliau dengan sedikit tersenyum dan lebih banyak menundukkan kepala. Maklum, hal tersebut lumrah dikalangan para santri jika sering menunduk ketika bertemu dengan kiai ataupun seseorang yang memberi mereka ilmu.
“Bagaimana kabarmu, Nak?”
“Alhamdulillah baik, Kiai.”
“Makan dulu. Kamu pasti lapar.” Romo Kiai memanggil salah satu santri beliau dan menyuruhnya mengantar Ammar ke dapur.
Sebenarnya Ammar ingin menolak tawaran Romo Kiai karena ia sedang berpuasa. Jika bukan barokah serta rasa ta’dhimnya pada beliau, pasti ia tidak segan untuk menolaknya dengan halus. Perlahan ia minum teh yang masih mengepulkan asap itu.
“Idholus surur atau membuat orang lain bahagia ketika kita menanggapi permintaanya adalah termasuk salah satu amal yang mudah namun berpahala besar.”
Ammar ingat pesan ustadnya dulu waktu mengaji kitab adabus sami’ wa muta’allim. Ustaznya berpesan jika barokah seorang Kiai adalah yang tertinggi dari semua elemen pesantren. Meskipun kamu puasa, meskipun capek, atau sedang sibuk, usahakan tidak pernah menolak ajakan dan permintaan beliau.
Ammar membatalkan puasa dengan meminum air putih di depannya.
Menu makanan yang ada di ndalem tergolong sangat sederhana, sangat berbanding terbalik dengan apa yang dibayangkan orang luar tentang kekayaan beliau. Tempe dan sayur-sayuran merupakan menu wajib yang pasti ditemukan saat berkunjung ke rumah beliau. Ada juga ayam goreng dan tahu yang siap makan.
Yang lebih mengejutkan, menu makanan Kiai Asep sama persis dengan apa yang dimakan santri beliau. Dari segi rasa, bentuk, maupun warna, semua sama.
“Gini, Mar.” Romo Kiai biasa memanggilnya Ammar. “Kamu nggak kepingin kuliah lagi?”
Ammar menelan ludah. Tidak dapat disangka ia akan ditanya dengan pertanyaan ini. Awalnya ia hanya mengira jika panggilan Romo Kiai hanya untuk mengabdi di pesantren setelah lulus S2.
“Sebenarnya saya sudah pernah ditawari untuk kuliah di Leiden setelah lulus pascasarjana dulu. Sayang, ibu tidak merestui.” Ammar terus menunduk.
“Ibumu nggak merestui?” Tanya Romo Kiai seakan tidak percaya.
Ammar mengagguk.
Romo Kiai Asep tersenyum. Beliau sepertinya tahu solusi apa yang cocok untuk Ammar agar dapat melanjutkan kuliah doktoralnya di luar negeri.
“Kamu sudah punya rencana? Pengen kuliah dimana gitu?”
“Belum, tapi sebenarnya sangat ingin kuliah. Untuk masalah di universitas mana belakangan, yang penting di luar negeri.”