Alam bersuka ria. Bintang-bintang di langit saling bertegur sapa. Bulan purnama yang tampak malu pun ikut bergembira di malam yang indah ini. Ya, ini adalah malam sepuluh Muharram. Wajar jika semua ciptaan-Nya bergembira menyambut tanggal yang penuh dengan kejadian menakjubkan. Tetapi ada seseorang yang tidak merasakan kebahagiaan akan hal tersebut.
Jalan kota Sidoarjo ramai oleh pengendara motor yang pulang melepas penat setelah seharian bekerja. Aroma kopi menyeruak pada hidung setiap orang yang lewat di depat kafe ini. Dua orang lelaki masuk bersamaan dengan kepulan asap di samping barista.
“Tumben ngajak ngopi?”
“Iya, Pang. Aku bingung.”
Ammar dan Opang duduk di ujung kafe. Pemandangan di Selatan sangat cocok untuk mengobati hati yang gelisah. Danau yang membentang luas, gemerlap lampu jembatan, dan cahaya bulan purnama adalah hal yang susah ditemui di malam spesial ini.
“Wah, tumben bingung, Gus.” Ucap Opang lantas tertawa.
Ammar menyeruput kopi di depannya. Warnanya hitam pekat. Aromanya khas. Asap yang mengepul menimbulkan sensasi tersendiri.
“Eh, Pang. Mana si Zulfa?”
Opang terdiam. Kedua bola matanya menatap lekat kopi yang hitam di depannya. Sesaat ia menarik napas dalam lantas mengeluarkannya.
“Lupakan ...” Hanya itu jawaban Opang.
Ammar mendapati kekeliruan dalam ucapannya. Ia dapat menangkap kegalauan di mata Opang. Mungkin mengalihkan topik pembicaraan adalah hal yang paling tepat dilakukannya sekarang.
“Kau belum jawab pertanyaanku barusan.” Opang ngomong dengan logat bataknya yang khas.
“Nah, itu Pang, aku kemaren kan dapat beasiswa ke Leiden. Cuman ya gitu, nggak disetujui sama ibu.”
“Loh, kenapa? Kesempatan emas kok dibuang.”
“Ibu nyindir suruh nikah dulu katanya. Pakai bahasa halus sih, kira-kira ya gitu.”
Opang menghirup aroma kopi di depannya. Ia pesan kopi robusta Lampung.
“Itu mah pasti. Aku juga disuruh nikah sama orang tuaku, padahal aku pingin cari kerja dulu. Cari pengalaman dua tiga tahun gitu.”
“Lah jadi content writer di salah satu platform terkenal apa bukan kerja itu?” Tanya Ammar penasaran.
“Nggak, sih. Itu buat ngisi waktu luang aja.”
“Ngisi waktu luang tapi dapat uang. Ndasem Pang Opang.”
Mereka berdua tertawa sejenak disusul cerita Ammar tentang panggilan Romo Kiai kemarin. Ditambah lagi beliau ingin memperkenalkan keponakan perempuannya kepada Ammar. Opang penasaran, siapa keponakan perempuan beliau yang sekiranya cocok buat orang tidak jelas seperti Ammar.
“Keseharian lontang-lantung, ngalor-ngidul, gapernah jelas pekerjaannya apa, eh malah dapat keponakan Kiai.”
Ammar tertawa, “Yo jelas toh, Pang. Kekuatan doa sepertiga malam terakhir tidak pernah berkhianat.”
Mereka berdua asyik larut dalam dialog yang berwarna-warni. Diselingi kopi dengan aromanya yang khas, musik jazz diputar mengikuti alur pembicaraan mereka.
***
“Cha, besok pagi ada acara keluarga. Kamu izin dulu di rumah sakit. Kamu wajib ikut pokoknya.”