Azan Subuh berkumandang. Suara merdu muazin memanggil kembali ruh yang sedang berkelana saat jasadnya tertidur, mengajak mereka bangun dan memenuhi panggilan Ilahi. Suara serak basah dan intonasi yang khas membuat Galih, sahabat sekaligus saudara angkatnya itu menjadi primadona warga di waktu Subuh. Perlahan, sepasang demi sepasang alas kaki tertata rapi di halaman masjid. Berbagai macam corak terlihat, namun semua terlihat bersih.
Berbeda dengan Ammar, alas kakinya kotor setelah berjalan menelusuri pasar mencari bahan untuk penjamuan Kiainya nanti. Baginya, yang terpenting adalah kaki yang masih dalam keadaan suci dan bersih ketika memijak lantai masjid ini.
Beberapa menit berlalu, asap mengepul keluar dari salah satu rumah yang terletak beberapa meter di Utara masjid bertepatan dengan bubarnya jamaah. Bukannya panik, mereka malah menikmati aroma bawang merah dan kaldu yang memikat. Bau terasi yang samar pun ikut serta dalam perlombaan memikat hidung ini, merangsang air liur untuk keluar kala lapar di pagi hari.
Seorang lelaki berbaju putih terlihat asyik memotong wortel sambil mendengar lantunan sholawat Nabi dari grup terkenal Muhasabatul Qolbi. Matanya fokus pada pisau yang dipegangnya dengan tangan kanan. Jari-jarinya bergerak lihai membuat wortel utuh itu menjadi potongan yang tipis nan rapi. Di kirinya, sudah ada sebuah mangkuk yang penuh kentang dengan kulit yang sudah dikupas.
“Kentagnya dipotong dadu ini?” Ucapnya
“Iya, nanti kamu bagi jadi dua wadah.”
“Nggak dijadiin satu wadah aja?”
“Enggak, ntar buat dua masakan berbeda.”
Sesudah wadah wortel terisi penuh, ia menggesernya dan memulai memotong satu per satu kentang menjadi bentuk dadu. Pelan tapi pasti, satu wadah penuh kentang tersebut sudah berganti bentuk menjadi dadu kecil nan mungil. Senandung sholawat menemani paginya kala itu.
“Nanti katanya Mila mau kesini juga?” Ucap lelaki itu pada ibunya.
“Ning Mila? Kok tiba-tiba banget.”
“Iya, Ammar kemarin dibisikin Nabila.”
Ibu berpikir sejenak, “Ada keperluan apa Ning Mila datang kesini?”
“Nggak tau sih, katanya Bu Nyai Nindya ikut juga.”
“Deg…” Ibu kaget dan langsung terdiam.
Bu Nyai Nindya adalah istri dari Kiai Syaif, pengasuh pesantren tempat ibu dulu mengenyam pendidikan agama. Beliau pula yang menyarankan ayah untuk meminang ibu. Ayah dulunya merupakan adik kelas beliau di pesantren, tetapi jasanya yang membantu berdirinya pesantren Kiai Syaif tidak dapat dilupakan. Usulan-usulan ayah yang kala itu masih menjabat sebagai ketua musyawarah pesantren dapat membuat Kiai Syaif yang sudah alumni bertekad bulat membangun pesantren dari nol.
“Bu…?”