Bidadari Milik Hudzaifah

khesya suci afifatul salwa
Chapter #7

Dia?

Benar dugaan Naya, kegiatan ngaji bersama telah dimulai saat ini ia menjadi pusat perhatian santri putri karena keberadaannya yang baru saja datang pada kegiatan tersebut. Naya benar-benar malu, mengapa ia harus terlambat di hari pertamanya ini??, memang menyebalkan.

“Ning Naya darimana saja baru datang?”. Tanya seorang ustadzah yang tak lain adalah, ustadzah Ilza yang tak lain juga adalah seorang ketua keamanan bagian santri putri.

“Afwan ustadzah, tadi saya baru dari kamar mandi makannya telat”.

“Yasudah Ning, njenengan (kamu) boleh duduk”.

“Afwan sekali lagi ustadzah, kayanya banyak yang belum tau kalau saya seorang Ning disini. Jadi menurut saya lebih baik tidak usah panggil saya dengan sebutan itu ya ust. Karena malahan lebih baik begini belum banyak yang tau”. Ucap Naya dengan nada bicara yang sedikit berbisik agar tidak ada yang mengetahui ucapan Naya dengan ustadzah Ilza.

“Lahh, memang tidak apa-apa tah Ning?, saya takut tidak sopan nanti”.

“Ehh, mboten (tidak) ust. Njenengan lebih tua daripada saya, jadi panggil saya dengan nama biasa saja nggih?, itu malah lebih baik”

“I-iya ning, eh Naya”.

“Yasudah saya duduk dulu ya ust, ngga enak dilihatin sama mereka”.

Naya buru-buru duduk didekat santri putri yang baru ia kenali, dengan cepat ia membuka buku beserta kitab nya untuk mengikuti kegiatan ngaji bersama pada malam hari itu.


“MasyaAllah, saya hampir su’udzon sama dia, Ternyata dia sangat amat rendah hati dan ga angkuh sama sekali. Pantas saja kalo dia jadi cucu kesayangan pondok ini”. Batin Ilza yang tak lain adalah ustadzah Naya.


Dari kejauhan terdapat seorang pria yang sedari tadi melihat kejadian itu, dia sangat terkejut dengan apa yang ia lihat hari ini. Karena bagaikan mimpi tapi kenyataan, pria itu lagi-lagi bertemu wanita yang selama ini ia semogakan secara diam-diam, yaa benar sekali, wanita itu adalah Naya. Kaget bukan main saat pria itu melihat sosok wanita yang selama ini selalu menghantui pikirannya, ia tau persis bahwa wanita itu adalah seorang yang ia temui di kota Tarim serta pertemuan-pertemuan yang tidak terduga itu.

Pria itu adalah Muhamad Alzam Hudzaifah, paras tampan bak pangeran Arab yang memiliki bola mata berwarna coklat serta rahang tegas sehingga menambah kesan tegas nan menawan pada wajah nya. Ia sedari tadi melihat Naya hanya untuk memastikan bahwa itu adalah benar-benar seorang perempuan yang ia kagumi selama ini.

“Gus kenapa kok melamun?”. Tanya seorang pria yang tak lain adalah Abah Naya.

“Ohh tidak, lagi nikmatin suasana disini kok tumbenan adem ya hehe”. Raut wajah Zai mendadak bahagia, karena ia tak menyangka bahwa ia akan semakin dekat dengan perempuan yang ia kagumi itu.

“Loh tumben semangat, bungah, sumringah begini kamu Haha. Jangan-jangan udah ada mba santri yang kamu incar ya??”.

“Aduhh njenengan ngawur, mboten Bah. Memang lagi enak aja suasana hati nya Zai”.

“Okelah kalau begitu, oh iya salamin juga ke Abah mu kalau saya belum bisa ketemu malam ini karena saya baru dari Surabaya abis jemput anak saya, terus saya cape. Tolong sampaik kan ya?”.

“Nggih Bah Siap”.

“Oh ya, nanti kamu saya amanah kan juga, mulai satu bulan kedepan saya beserta keluarga ndalem mau kunjungan ke ponpes Al-Falahiyah di cabang daerah Kediri, jadi kamu nanti tolong koordinir pondok ya, tadi saya juga sudah briefing bareng ustadz, ustadzah yang lain kalau kamu yang nge-handle. Gimana, siap to?”.

“MasyaAllah, nggih Bah dengan senang hati Zai siap”.

“Alhamdulillah makasih ya nak, yaudah kamu ngisi materi bagian putra ya”.

“Nggih Bah”.

Memang tak asing lagi jika di pondok mereka memanggil sebutan “Abah” kepada masyayikh ponpes terlebih jika masih keluarga sendiri, Zai adalah putera tunggal dari Bani Hudzaifah. Ayah nya juga masih keluarga dekat dengan keluarga ndalem Naya.


Materi telah disampaikan dengan baik terlebih jika pemateri dibagian putri adalah Abahnya sendiri, setelah selesai mengikuti kegiatan tersebut Naya mulai membereskan barang-barang belajarnya tadi dan bersiap-siap untuk menuju ke kamar nya.


“Ayoo Nay, udah malem ini nanti malah kita dikira yang tidak-tidak sama ustadzah. Besok juga hari jum’at ada ro’an bagian putri jadi harus bangun pagi”. Ajak Ani kepada Naya untuk segera masuk ke kamar mereka.

“Ehh iya An maaf, tapi aku lagi bingung sandal yang aku pake ga ada disini, padahal aku inget banget tak taro sini pas ngaji tadi”.

”Masalah sandal aja dipermasalahin, manja”. Olok Rafa terhadap Naya penuh dengan tatapan sinis.

“Nay, daripada kamu kelamaan disini nyari sendal mending gausa pake sendal sekalian deh soalnya keburu malem, mana besok kita ada jadwal ro’an jadi harus bangun lebih awal, o iya kebetulan besok kamar kita jadwal nya ro’an di ndalem Mbah Kyai”. Timpal Kia sembari membenarkan jilbab yang ia kenakan.

Kaget, Yaa tentu saja. Memang belum tau atau mereka memang acuh tak ingin tau bahwa Naya adalah keluarga ndalem tersebut.

“Kok kaget gitu Nay? Belum terbiasa ya?, wes gak papa santai aja. Keluarga ndalem gak galak kok terlebih ada Gus Zai yang ganteng bangett, jamin deh kamu pasti betah ro’an disana”. Ucap Kia yang saat ini dibarengi dengan senyum semangat karena itu adalah kesempatan nya untuk melihat Gus Zai di ndalem pondok.

Ro’an adalah kegiatan rutin para santri untuk bersih-bersih secara bersama di lingkungan pondok, memang untuk jadwal bersih-bersih sudah dijadwal kan sesuai kamar santri. Kegiatan ini dilakukan rutin setiap hari jum’at, dimana santri putri membersihkan lingkungan pada jam 7 pagi hingga jam 9, kemudian di lanjutkan oleh santri putra pada pukul 2 siang hingga jam 4 sore mendekati waktu sholat asyar.

“Eh tidak kok, yasudah saya mau ke kamar mandi dulu ya soalnya tadi saya jemur jilbab disana nanti takut hilang. Assalamualaikum”. Naya berjalan cukup tergesa gesa karena ia baru tahu kalau di pondok kakek nya ini ada seorang Gus, otomatis Gus tersebut juga masih keluarga Naya.

“Yahh, ditungguin malah kabur aja tu bocah”. Ucap Rafa dengan penuh kesal.

“Udah Fa, kita ke kamar duluan aja soalnya udah malem juga. Yuk”. Ani menarik tangan Rafa dan di susul pula dengan Kia.

“Oke deh”.

Sebenarnya Naya tidak pergi ke kamar mandi, malam ini ia pergi ke ndalem pondok untuk mengambil beberapa sarung dan gamis nya, saat perjalanan menuju ndalem ia tak sengaja menabrak seorang pria yang langkah nya pun sama akan masuk ke dalam rumah kakek nya.

“Aduhh, Maaf ustadz Naya ga sengaja tadi buru-buru”.

Saat Naya menaikkan pandangannya ke atas ia sangat terkejut bahwa pria yang ia lihat saat ini adalah pria yang ia temui di Kota Tarim dengan disertai banyak sekali pertemuan-pertemuan yang tidak terduga.

“Iya gapapa”. 

Berbanding terbalik dengan pria itu, yang nampak biasa saja saat tak sengaja bertabrakan dengan Naya.

“M-maaf, apakah benar kita pernah ketemu di Tarim waktu itu?”.

“Yaa, benar sekali. Sebenarnya dari tadi saya juga sudah liat kamu pas dateng telat di acara ngaji bersama, lalu kamu ngobrol sebentar dengan Ustadzah Ilza”.

“E-eh, iya benar. Ngapunten (maaf) ustadz, apa benar ustadz juga keluarga pondok disini?”.

“Iya benar, Kakek saya kakak nya Mbah Kyai Al-Falahiyah”.


Masih dengan kata tidak percaya, bagaimana ia tak tau jika ia memiliki sepupu disini. Tapi itu tidak penting bagi Naya karena ia berfikir keluarga Pondok Pesantren milik kakek nya sangat lah banyak wajar saja jika ia tidak mengenali banyak keluarga disini. 

Meskipun dari kejadian ini Naya juga tidak memberi tahu pada Ustadz yang sedang berada di hadapannya saat ini bahwa ia adalah cucu dari Kakek nya yang sedang mereka bicarakan, toh nanti juga pasti kenal atu sama lain jika ada acara keluarga besar.

“O iya, sebelum saya masuk saya mau tanya ke kamu, siapa namamu? Kayanya kamu santri baru disini?”. 

Perkataan pria tersebut berhasil memecah lamunan Naya yang sedari tadi memikirkan banyak nya jumlah keluarga dari dzuriyah pondok ini.

“Nggih benar ustadz, baru masuk tadi sore. Nama panggilan saya Naya”.

“Kalau nama lengkap?”.

Aneh, kenapa ustadz ini tanya tentang pertanyaan yang tidak penting. Naya tidak akan memberitahu nama lengkap nya, bukan karena apa-apa ia hanya saja tidak ingin kejadian seperti tadi kalau seorang Ning di bedakan dengan santri yang lain, bahkan bisa disebut juga “Paling di istimewakan”.

“Maaf ustadz panggil itu saja, saya permisi dulu”

“Lah mau kemana kamu? Tidur santri bukan disini tapi dikamar masing-masing”.

Ucap pria itu dengan mengacungkan jari telunjuknya untuk memberi tahu bahwa Naya tidak boleh masuk ke Rumah Ndalem jika tidak ada keperluan yang penting.

“Eh iya maaf ustadz, Naya salah jalan, Kalau begitu saya permisi ustadz. Assalamualaikum”.

Naya pergi dari tempat itu dengan hati yang sedikit kesal, pria itu tidak tahu saja jika ia adalah cucu dari keluarga ndalem yang ia maksut.

“Awas aja hih, sampe dia tahu kalau aku cucu kakek, bakalan tak bales, huh liat aja nanti”.


Lain hal nya dengan tempat yang baru saja Naya datangi, Pria itu adalah Zai yang saat ini sama hal nya dengan Naya bahwa mereka masih satu keluarga dengan Kakek Naya. Zai terus memandangi pundak Naya yang lama-kelamaan menghilang menuju area kamar santri putri.

“Cantik, sepertinya ia masih kecil Hahaha. Astaghfirullah kenapa jadi senyum sendiri begini?”. 

Zai masih saja tersenyum tipis karena hari ini adalah hari keberuntungan baginya karena telah bertemu dengan wanita yang selama ini ia doakan.


Naya gagal masuk ke ndalem pondok karena ia bertemu dengan pria itu, sejenak Naya melupakan bahwa dia juga mengagumi pria tersebut namun sekarang ia sudah tahu kalau dia masih satu keluarga dengan Naya.

“Minta tolong ustadzah Ilza aja kali ya buat ambilin baju, tapi besok saja lah lagian ini udah malem, ga enak sama beliau”.

Naya masuk ke dalam kamar baru nya itu, terlihat ketiga temannya sedang hafalan kitab, meskipun besok jum’at adalah hari libur tapi mereka tetap hafalan karena untuk memperbanyak saat setoran bersama ustadz dikelas.

“Maaf ya temen-temen agak lama tadi baju nya jatoh jadi tak cuci lagi”.

Bohong Naya kepada teman-temannya agar ia tidak ketahuan dengan peristiwa tadi saat bertemu dengan gus yang mereka idam-idamkan, Tak ada sahutan dari ketiga temannya itu hanya dibalas dengan anggukan kepala oleh Kia.

Naya tersenyum kemudian mulai membersihkan diri dan berganti pakaian untuk bersiap-siap tidur.

Saat ingin tidur tiba-tiba ponsel Naya berbunyi dan menandakan ada seseorang yang mengirimkan pesan kepadanya.

“Tingg”. Notifikasi chat pada ponselnya.

Lihat selengkapnya