Awan mendung menyelimuti Jombang saat ini, seakan-akan juga ikut merasakan kesedihan seorang gadis yang sedang duduk di taman pondok yang berdekatan dengan Masjid. Gadis tersebut meremas kuat gamis berwarna cream yang digunakan serta menggenggam erat pena beserta buku tulis dan kitabnya, air mata nya tak berhenti mengalir membasahi kedua pipi nya, ia terus terisak sangat larut dalam pada kesedihannya.
“Kenapa harus keluarga Naya Ya Allah?? Kenapaa??!!!. Salah apa keluarga Naya??. Saya selalu patuh terhadap kewajiban yang di perintahkan, Naya selalu berperilaku baik terhadap sesama Naya, tapi kenapa YaAllah,,,, Hiksss Hikss”.
Gadis itu tak lain adalah Naya, ia saat ini sedang kacau dengan kondisinya sendiri. Rasanya ia seperti membuka luka lama lagi, tapi kali ini beda. Kali ini luka nya sangat perih dan dalam. Naya kembali kehilangan arah, ia kembali kehilangan kesadarannya menjadi manusia normal, ia kembali kacau dan kalut dengan kesedihannya terlalu dalam.
FLASHBACK,,
“Alhamdulillah udah beres semua nya, sekarang jam 8 pagi jadwal Gus Zai ngajar. Hufff ngeselin”.
“Zai??”.
Tak tahu darimana tiba-tiba Rafa mendengar perkataannya tadi.
“Haha Nayaa, Nayaa. Memang ndak tahu malu ya?, kami disni nerima kamu dengan baik malah kamu bikin sakit hati kami”. Ucap Ani penuh emosi
“Ehh, Anii. Jangan mikir yang tidak-tidak dulu yaa?,, soalnya saya selalu kena hukuman dengan beliau, itu sebab nya saya sedikit kesal dengan beliau”. Mimik wajah Naya berusaha meyakinkan teman-temannya itu.
“Kamu masih mau percaya dia An? Yakin? Ga takut di sakitin lagi kah sama sifat munafiknya dia?”. Ucapan Rafa tersebut menambah kebencian pada diri Ani kepada Naya.
“Iya An, udah paling bener kita ini bertiga aja. Gausah nambahin dia jadi sahabat kita”. Ucap Kia kepada Ani sambil menunjuk Naya.
“Gaiss, jangan gitu. Demi Allah kalian ini salah paham, aku ga pernah sama sekali suka sama Gus Zai”.
Bohong, ucapan Naya adalah bohong. Bagaimana ia bisa mengucapkan kalimat seperti itu, sedangkan ia sudah lama diam-diam menyukai Zai sejak ia bersekolah di kota Tarim, kota itu juga sebagai saksi mereka saat pertama kali bertemu.
“Udah An, daripada kita buang-buang waktu disini, yuk kita langsung ke kelas aja, kebetulan Gus Zai hari ini yang ngisi di kelas kita”.
Ucapan Rafa hanya dibalas anggukan oleh Ani yang kemudian disusul oleh Kia, mereka bertiga berjalan yang kemudian meninggalkan Naya sendirian dikamar.
“Hikss, Abahh, Ummaa,, Naya sedih banget disini, Naya ga punya temen”.
Naya menangis sebentar yang kemudian ia cepat-cepat menyembunyikan kesedihannya itu karena saat ini ia akan mengikuti pelajaran kelas nya.
“Hufff, ayok Nayy jangan sedih-sedih duluu, mereka Cuma butuh waktu”.
Dengan cepat Naya mengubah mood sedih nya menjadi mood yang baik-baik saja seakan akan tidak terjadi apa-apa.
Naya merapikan pakaian dan barang bawaannya untuk belajar dikelas nanti, saat akan melangkah kan kaki nya untuk keluar kamar, tiba-tiba Naya dikejutkan dengan panggilan seorang perempuan yang tak lain adalah Ustadzah Ilza.
“Ningg, ningg YaAllah. Abah Ningg. Keluarga njenengan ningg, huhuhu”.
Naya yang tak paham dengan perkataan Ilza itu pun dibuat bingung, ada apa dengan Abah dan keluarga nya? Kenapa Mba Ilza menangis?.
“Mba Ilza ini jangan panggil saya ningg, takut ada yang tahu ih”.
“Ning, sekarang bukan saat nya njenengan bahas seperti ini,, hikss hikss”.
Naya semakin bingung dengan perilaku mba Ilza yang tak biasanya, saat ini ia benar-benar sedih. Seperti orang yang kehilangan(?).
“Mba Ilzaa YaAllah mbaa, istighfar dulu, ayoo bilang pelan-pelan yaa, jangan buat saya panik seperti ini to”. Tegas Naya karena saking penasarannya
“Ningg, Abah njenengan bersama keluarga ndalem pondok kecelakaan tadi, saat menuju kejombang ning,, Hiksss”.