Ya Allah Zai darimana aja kamu nak? Abah dari tadi nyariin kamu di pondok tapi katanya ngga ada”.
Suara lembut tersebut berasal dari Umi nya sendiri, yang sedari tadi khawatir mencari keberadaan putra sulung nya.
“Ya Allah maaf Umi, dari tadi Zai dikamar mandi soalnya ngga tau kenapa hari ini Zai kena diare Mi”.
Perkataan bohong Zai kali ini terpaksa ia ucapkan, karena itu adalah salah satu cara untuk menutupi kekecewaan pada Gadis pujaannya yang tak lain adalah Naya.
“Kenapa Umi nyariin Zai? Kan biasa Mi hari ini Zai ngajar di pondok putri”.
“Tadi Abah mu dapet telpon dari keamanan pondok putri, kalau Keluarga ndalem mengalami kecelakaan pas mau menuju kesini Nak, Umi gelisah sekali, gak tenang. Gimana kondisi Mbah Yai, Bu Nyai sama Gus Firman dan Ning Fatimah?, Maka dari itu Abah mu ngajak berangkat ke Rumah Sakit, tapi karena kamu dicariin ga ketemu-ketemu jadi Abah mu budal (Berangkat) sama kang santri bagian multimedia Nak”.
“Ya Allah Umi, serius ta? Terus gimana sekarang kondisi Mbah Yai dan keluarga? Sudah dapet kabar dari pihak rumah sakit belum Mi?”.
“Belum nak, ini kita masih nunggu. Tadi Abah mu juga pesen kalau mau ke Rumah sakit sekalian ajak ning Naya, kata nya tadi mau berangkat bareng sama Mansur, si Mansur malah nolak karena katanya buru-buru jadi nya kamu yang di suruh nganter kesana”.
Panjang lebar penjelasan dari Umi nya, membuat Zai berfikir keras tentang bagaimana kondisi Naya saat ini? Bagaimana keadaan psikis nya sekarang? Se kacau apa dia saat ini? Bagaimana dia tidak tahu berita se besar ini menimpa gadis pujaannya itu?.
“Ya Allah Mi, Maaf Zai lupa. Tadi kran kamar mandi belum Zai matikan, Zai permisi dulu ya Mi. Kalau sudah ada kabar dari pihak rumah sakit tolong telpon Zai saja, kebetulan Zai bawa HP Mi, Assalamualaikum Umi”.
“Astaghfirullah Nak teledor sekali kamu ini ih!! Yasudah, Wa’alaikumussalam”.
Zai berlari meninggalkan Umi nya dengan buru-buru, sebenar nya perkataan nya tadi tidak lah benar. Ia hanya ingin memastikan bagaimana Naya saat ini dan ingin meminta maaf kepada nya bahwa ia telah ber prasangka buruk kepada Naya.
“Umi, maafin Zai ya,,. Zai udah kelewatan kali ini”.
Zai terburu-buru untuk mencari keberadaan Naya saat ini, saat ia mengunjungi tempat yang sama tadi yakni taman pondok ia tidak menemukan keberadaan Naya disana, ia sangat khawatir dengan kondisi nya.
“Ya Allah Nay, dimana kamu?”. Batin Zai kepada diri nya sendiri penuh dengan kecemasan.
Lelah sudah Zai mencari keberadaannya, kini ia menemukan keberadaannya. Saat ini Naya tengah berada di Masjid pondok, Naya tidak sedang melaksanakan sholat akan tetapi sedang memberi makan seekor kucing berwarna abu-abu.
“Ya Allah Nay, kamu disini ternyata”. Batin Zai
“Nay”. Panggil Zai terhadap Naya
“Hmm”.
“Kok ngga di jawab?”.
“Saya lagi ga pengen berurusan dengan njenengan Gus, kalau njenengan mau ganggu saya mulai saat ini jangan dulu ya Gus, saya lagi sibuk. Maaf, saya permisi Assalamualaikum”.
“Abah saya pesen tadi, untuk ngajak kamu ke rumah sakit, Ayo Nay”.
Deggg, Mendengar perkataan Zai tadi kembali membuat Naya merasakan sakit yang luar biasa.
“Gus tau tentang ini?”.
“Umi sama Abah tadi yang memberitahu saya, maaf juga saya tadi sudah berburuk sangka sama kamu”.
“Maaf Gus tadi saya tidak bisa hadir di kelas njenengan, karena pikiran saya tadi sampai sekarang sedang kacau sekali”.
“Ngga papa Nay, saya paham itu. Yasudah ayo kita kesana, sekalian mau ngajak Umi kesana juga. Beliau juga khawatir sama kondisi keluarga ndalem”.
“Afwan Gus, saya juga mau di jemput, Njenengan duluan saja ama Umi”.
“Iya kah? Sama siapa Nay?”.
Orang yang sedang mereka bicarakan telah datang, yang tak lain adalah Akbar kakak laki-laki Naya, Akbar langsung memparkirkan mobil nya tepat di depan pelataran ndalem pondok yang posisi nya tak jauh dengan keberadaan Naya dan Zai.
“Assalamualaikum Nay, Gus Zai”.
“Wa’alaikumussalam”. Ucap Naya dan Zai secara bersamaan.
“Maaf ya nunggu lama, soalnya tadi macet”. Ucap Akbar kepada Naya sembari mengusap pucuk jilbab milik Naya.
Zai yang melihat kejadian tersebut sesaat mematung, sembari ia mengingat siapa laki-laki ini yang bisa bersentuhan langsung dengan Naya, Zai pun kembali mengingat bahwa dia adalah Kakak laki-laki Naya, dan tak lain juga putra pertama di keluarga ndalem pondok ini.
“Sedang apa kalian berduaan disini?”.
“Abang maafin Naya, tapi ini bukan dibikin sengaja ketemu atau bahkan sesuai sama perkiraan pikiran bang Akbar”.
“Afwan Gus, yang diucapkan Naya tadi benar. Tadi Abah pesen sama saya buat ngajak Naya untuk ke rumah sakit bareng dengan Umi saya Gus”.
“Oalah begitu, nah kebetulan saya sudah disini gimana kalau naik mobil saya saja Gus, diajak sekalian Umi njenengan bareng dengan kita”.
Naya yang mendengar percakapaan antara Abangnya dengan Zai pun ikut menawarkan agar Gus Zai beserta Umi nya mau satu mobil dengan mereka berdua.
“Ngapunten (maaf) Gus Akbar, Naya. Bukannya saya menolak ajakan kalian, tapi katanya tadi asatidz yang lainnya juga mau ikut buat jenguk mbah Yai di rumah sakit. Jadi saya tetap membawa mobil saya sendiri untuk mengajak mereka sekalian”.
“Yasudah kalau begitu, kami pamit dulu ya Gus. Assalamualaikum”.
“Wa’alaikumussalam, hati-hati yaa”.
Ucapan Zai tadi hanya dibalas anggukan lembut oleh Naya. Mobil yang saat ini telah di kendarai oleh Naya dan Akbar melaju sedikit kencang menuju rumah sakit di daerah Jombang.
“Yahh gagal lagi mau ngajak calon istri satu mobil sama Umi hahaha”. Tawa Zai dalam batinnya sendiri berhasil mengukir senyum kecil pada sudut bibirnya.
Di tempat lain, saat ini Ani telah mendengar berita duka yang dialami oleh keluarga ndalem. Ani merasa sangat sedih, karena Ning Fatimah yang tak lain adalah Umi dari Naya, sangat baik kepadaa dirinya, baru pertama kali ia melihat perempuan ber hati baik nan lembut seperti Ning Fatimah. Namun perlu di garis bawahi juga, bahwa saat ini teman-teman satu kamar Naya yang tak lain adalah Rafa, Kia, dan Ani, mereka belum mengetahui bahwa Naya merupakan seorang putri dari Ning Fatimah.
“Assalamualaikum, afwan ustadzah. Ani mau tanya”.
“Wa’alaikumussalam, iya Ani kenapa ya?”.
“Apa benar keluarga ndalem sedang tertimpa musibah saat ini?”.
“Iya benar An, lalu?”.
“Innalillahi wa innailaihi roji’un. Saya ikut merasakan kesedihan yang sangat dalam ustadzah. Bagian Ustadz pondok putri apakah sudah ada yang menjenguk?”.
“Sudah tadi namun hanya yang laki-laki saja, untuk nanti para asatidz yang perempuan baru akan menjenguk. Kebetulan akan berangkat nanti ba’da isya’ setelah pelajaran Nahwu. Nanti Gus Zai yang akan mengkoordinir”.
Sesaat setelah mendengar nama “Zai” disebutkan oleh ustadzah Ilza, hal tersebut semakin menambah semangat Ani untuk kekeh ikut rombongan asatidz untuk menjenguk keluarga ndalem di rumah sakit.
“Maaf Ustadzah, Apakah saya boleh ikut?, Ani juga kebetulam dekat dengan Umi Fatimah”.
“Maaf An, saya ngga bisa ambil keputusan bisa atau tidak nya. Coba nanti saya tanyakan sama Gus Zai dulu ya”.
“Ehh, ngapunten (maaf) ustadzah, biar Ani aja yang tanya ke beliau. Kebetulan hari ini beliau masuk ke kelas saya dulu sebelum masuk ke kelas Nahwu lainnya”.
“Yakin kamu An?, Beliau orang nya ngga seneng basa-basi loh, apalagi sama lawan jenis. Tapi kalau itu mau kamu yasudah ngga papa, toh ya nanti biar jelas. Kalau sudah tidak ada kepentingan yang lain saya permisi dulu, Assalamualaikum”.
“Nggih (iya) ustadzah, Wa’alaikumussalam”.
Ekspresi sumringah dapat terlihat jelas pada muka Ani, karena kali ini ia memiliki kesempatan untuk bertemu pria pujaannya itu, yang ia anggap bahwa mereka berdua menyukai satu sama lain.
“Alhamdulillah Ann, Hari ini rejeki ketemu calon suami HAHAHA”. Perkataan tersebut terdengar jelas namun lirih, hingga Ani sendiri yang dapat mendengar nya.