Di tempat lain, terlihat seorang gadis yang dipenuhi amarah. Ia adalah Ani yang saat ini sedang mengacak-acak kamar nya sendiri.
“Sudah-sudah An, tenang kan dirimu dulu. Besok kita cari jalan keluar untuk memberi pelajaran wanita munafik itu”. Ucap Kia yang ikut tersulut emosi.
“Yang diomong Kia itu bener, sekarang kamu tidur dulu. Mumpung ustadz yang lainnya belum pulang, takut nya nanti kamu ngantuk dikelas terus kita kena sasaran lagi An”. Ucap Rafa yang sedikit menenangkan sahabatnya.
“Hikss, Demi Allah aku benci Naya. Aku ngga akan segan ngasih dia pelajaran yang lebih sakit atas rasa sakit ku ini,, hiksss,,”.
Rafa dan Kia memeluk Ani secara bersamaan, mereka berdua sama-sama akan membalasakan dendam untuk sahabat nya itu, karena bagaimana pun juga yang pantas bersanding dengan Gus Zai adalah Ani, bukan Naya.
“Tenang yaa An, kami berdua siap bales dendam juga buat kamu”.
Ani mengangguk pelan dengan tatapan emosi seperti kerasukan setan, dalam diri Ani saat ini hanya di penuhi dengan rasa kebencian dan dendam kepada Naya, karena bagi nya Naya tidak pantas bersama dengan Zai.
“Abangg hati-hati yaa, nanti kalo udah sampai tolong kabarin Nayaa”. Teriak kecil Naya kepada kakak laki-laki nya yang saat ini sedang memutar mobil yang ia naiki untuk kembali ke Surabaya, melanjutkan kuliah nya yang tidak bisa di tinggal.
“Iya sayang kuu, kamu jaga diri baik-baik. Abang pergi duluu”.
“Okey bang, hati-hatii”. Naya melambaikan tangan kearah mobil yang dinaiki oleh Akbar yang melaju sedikit kencang meninggalkan pelataran rumah sakit.
“Naya, yuk kita pulang ke pondok dulu untuk bersih-bersih, nanti kita kesini lagi”. Ucap Aisyah yang tak lain adalah Umi Zai.
“Ehh Umi,, Naya disini aja ngga papa kok. Lagian mau jagain Abah dulu”.
“Yang dibilang Umi Aisyah itu bener nduk, biar Abah yang disini dulu sama kang santri lainnya. Kamu sama Umi dan ustadzah juga siap-siap pulang ke pondok dulu. Nanti kalau mau kesini bisa di antar Zai, iya kan Nak?”. Ucap Ahmad.
“Baik kalau begitu Bah, Naya ikut”.
“Mari Nak”.
Aisyah menuntun Naya untuk berjalan di samping nya, yang kemudian disusul dengan Zai berjalan di belakang Umi nya beserta Naya. Tak ada satu patah kata apapun yang di keluarkan oleh Naya maupun Zai, mereka masih sama-sama terdiam.
Perjalanan yang mereka tempuh untuk menuju ke pondok telah sampai, Naya segera turun untuk menuju ke ndalem bagian santri putri. Sedangkan Umi Aisyah beserta Zai akan pulang di ndalem pondok bagian putra.
“Kalau ada yang dibutuhkan bisa kabari Umi ya nduk, ngga perlu sungkan”.
“Baik Umi, Naya masuk dulu yaa. Terima kasih atas tumpangannya”. Ucapan Naya hanya dibalas anggukan saja oleh Zai tanpa melihat ke arah Naya.
Setelah membersihkan diri, hari ini kebetulan Naya telah bersih dari Udzur nya, dan ia akan mengikuti rutinitas mengaji Al-qur’an seperti biasanya karena kemarin-kemarin ia hanya bisa muroja’ah saja.
“Maaf ning, ini ada titipan”.
“Mba Ilza?, ini dari siapa ya? Soalnya saya ngga pesan makanan dari tadi”.
“Kurang tau saya ning, tadi saya diberi amanah dari santri putra bagian keamanan. Saya permisi dulu ya ning, soal nya mau ke bagian santri putri karena kebetulan hari ini adalah jadwal nya ro’an, permisi ning”.
“Ehh mba Ilza saya ikut, saya mau ro’an juga”. Naya buru-buru meletakkan ponsel beserta makanan pemberian tadi.
“Maaf ning, tapi tadi saya dapat pesan dari Gus Zai kalau njenengan istirahat mawon”.
Naya mengerinyitkan dahi nya bingung, sejak kapan Zai mulai bisa melarangnya seperti ini? Apa mungkin karena akan menikah?.