Jam telah menunjjukan pukul tujuh pagi, dan kebetulan hari ini adalah hari minggu dimana kegiatannya libur, dan hanya ro’an saja. Begitu pula dengan Naya yang saat ini sedang bersiap-siap untuk nanti malam adalah acara resepsi mereka.
“Nak, ayo sarapan dulu. Sekalian suami mu diajak”.
“Iya Umma, Naya lagi beresan kamar ini”.
Naya kemudian menuju ruangan buku-buku koleksi apapun, ditempat itu sering menjadi tempat pertemuan ustadz dan mbah yai.
“Maaf Gus, ayo sarapan dulu”. Naya mengajak Zai yang saat ini adalah suami nya.
“Gus?, aku ini suami mu sekarang, Zai mencubit gemas pipi istrinya itu”.
“Ih sakitt, ngga papa saya panggil Gus aja”.
“Ga boleh, harus manggil “sayang”, kalo ngga mau dosa, hayoo”.
“Mas aja, udah ayo Gus kita sarapan”.
“Gus???”.
“Iyaaa iyaa, Ayo Mas kuu sayang kita sarapan”. Naya berlari setelah memanggil suaminya dengan seperti itu, sebenarnya ia pun menahan agar tidak salting di depan suami nya.
“Subhanallah, saya ngga salah denger kahh??. Aduhh bisa-bisa saya jantungan tiap hari kalo sama bocil ini”. Zai tertawa kecil melihat tingkah gemas istrinya itu.
Setelah sarapan bersama, Zai kembali melanjutkan aktifitasnya untuk mengajar di pondok, begitu pula dengan Naya yang hari ini akan ada kelas mengaji. Semua sibuk dalam kegiatannya masing-masing, berbeda dengan tiga orang yang saat ini selalu mengawasi gerak-gerik Naya dan Zai.
“An, nanti malam setelah resepsi kita mulai rencana kita kan?”. Tanya Rafa kepada Ani, yang telah menyiapkan rencana busuk nya.
“Iya dong, harus. Ngga usah nunggu lama lagi langsung ke inti nya aja”.
“Hahaha, aku udah ga sabar denger dia ngerengek kesakitan”. Timpal Kia yang sudah tidak sabar melampiaskan amarah nya.
Perbuatan keji mereka sebenarnya mutlak sangat dilarang, karena sama saja dengan perencanaan berbahaya, apalagi saat ini mereka telah merencanakan rencana yang benar-benar diluar batas.
“Eh iya Raf, kamu udah nyiapin semuanya kan?”.