Tidak seperti anak seorang ustadz pada umumnya, Azril Fatah memiliki sifat yang keras kepala dan menyukai kehidupan yang bebas tanpa terikat dengan banyaknya peraturan. Kehidupan Azril sudah terpengaruh dengan gaya anak gaul yang suka keluyuran dan memiliki banyak pacar. Apalagi dengan wajahnya yang tampan seperti orang Timur Tengah, mampu menarik banyak wanita untuk berada dalam pelukannya.
Kelakuan Azril membuat sang ayah murka dan malu, karena dia bertindak seperti tidak ada yang mengajarkan ilmu agama padanya. Padahal dia sendiri hidup di dalam keluarga yang dipercayai masyarakat untuk mendidik anak mereka. Selain itu Ali merasa gagal karena tidak mampu membentuk karakter Azril menjadi sosok anak yang sholeh dan dipandang baik oleh masyarakat.
Berbagai hal Ali lakukan untuk mendidik anaknya, tapi tetap saja Azril berperilaku kurang baik. Wajar saja, usianya masih terlalu muda dan masih berpikiran untuk menikmati dunia fana ini. Ali dan Aminah sudah sangat kewalahan dalam menghadapi anak semata wayangnya. Semua mata tertuju pada mereka dan banyak bibir juga ikut bergerak mencibirnya. Seakan Azril menjadi cobaan terberat dalam kehidupan mereka.
Sebagai seorang istri, Aminah sangat memahami apa yang dipikirkan Ali saat ini. Langkah kakinya berjalan menghampiri Ali yang sedang duduk di sofa. Dengan kerendahan hati ia mulai berbicara.
“Abi masih memikirkan Azril?”
“Iya, Ummi. Kepala Abi rasanya ingin pecah. Abi sudah tidak tahan dengan kelakuan Azril yang sudah menjadi-jadi,” jawab Ali memijat pelipisnya.
Senyuman lembut mengembang di bibir Aminah dan perlahan ia menggerakkannya. “Abi, Ummi tau, Abi pasti memikirkan omongan orang di luar sana ‘kan?”
“Bukan hanya omongan mereka saja. Tapi bagaimana dengan tanggung jawab kita di depan Allah? Kita menjadi orangtua yang gagal. Apalagi Abi, Mi? Abi merasa sangat gagal menjadi seorang ayah,” keluhnya. Sorotan matanya jelas memperlihatkan segurat kekecewaan yang mendalam.
“Ummi paham. Tapi Abi jangan pernah menyalahkan diri Abi sendiri. Anak itu cobaan untuk kita. Meskipun orang lain memandang kita rendah karena kita tidak berhasil mendidik anak kita, bukankah dulu Nabi Nuh as juga pernah mengalami hal yang sama? Yang terpenting adalah kita jangan pernah putus asa dalam mendidiknya. Insya Allah, Allah akan meridhai kita,” ujar Aminah menatap Ali dengan penuh keyakinan sambil memegang lembut tangannya.
Bagaikan seberkas cahaya yang menerangi jiwanya. Kata-kata Aminah mampu mengembalikan semangatnya. Bibir Ali mulai tergerakkan senada dengan hembusan nafas untuk beristighfar atas kesilapan hatinya yang sempat suuzan pada nasib.
Sembari tersenyum lega, tiba-tiba saja sebuah ide muncul dalam kepala Aminah. “Bi, bagaimana kalau Azril kita kirim ke pesantren tempat dulu kita menuntut ilmu?”
Ali tergeming dan memikirkan saran dari istrinya. “Abi setuju, tapi bagaimana pandangan orang?”
“Abi, hal ini tidak menjadi tabuh. Banyak orang-orang di luar sana, ketika mereka tidak mampu mendidik anak-anak mereka, maka mereka memilih orang lain untuk mendidiknya. Terkadang anak itu akan mendengarkan perkataan orang lain daripada perkataan kita.” Aminah menjelaskan dengan rinci pada sang suami dengan harapan apa yang dipikirkan dapat dipertimbangkan dengan matang olehnya.
Ali kembali tertegun. Memang benar apa yang dikatakan Aminah, dalam proses pembentukan karakter anak-anak jaman sekarang lebih mendengarkan kata-kata orang lain daripada orangtuanya sendiri.
“Kalau begitu Abi setuju dengan usulan Ummi.”
Senyuman bahagia kembali terukir di bibir Aminah. Ia hanya berharap idenya kali ini dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan apa yang ia pikirkan. Kebaikan Azril adalah yang terpenting. Semoga saja Azril dapat menjadi anak yang lebih baik.
Krek!
Suara pintu terdengar jelas. Aminah meminta agar Ali dapat mengontrol emosinya di depan Azril.
Langkah kaki Azril langsung berjalan tanpa menoleh ke arah Ali yang sedang berdiri di sampingnya.
“Baru pulang?” Suara Ali seketika mengagetkannya.
“Abi.” Azril mengelus dada dan berusaha tenang.
“Ikut Abi!” titah Ali dingin.
Azril mendengkus kasar dan mengikuti Ali. Ia sudah wanti-wanti dengan segala yang akan dilakukan Ali padanya. Toh segala kemarahan Ali sudah sering ia terima mulai dengan teriakan sampai dengan dipukul pakai rotan pun sudah tidak lagi mempan baginya. Yang ada Ali semakin kesal dan Aminah menjadi histeris saat melihat kejadian yang tidak seharusnya terjadi pada putranya. Jujur saja, Ali juga tidak tega melakukan kekerasan, tapi Azril selalu bertindak di luar batas.
Seketika suasana menjadi hening saat Azril dan Ali sedang duduk dan saling memandang.