Awal masuk ke pesantren membuat sosok Azril layaknya seperti seekor ayam yang sedang dikurung. Tidak bebas berkeliaran, hanya bisa berputar-putar sekitaran komplek putra. Rasanya ingin keluar tapi tembok yang menjulang tinggi membuat keinginannya harus pupus. Tapi sebagai seorang pria sejati yang selalu berpegang teguh dengan ucapannya, ia tetap harus bertahan di dalam pesantren apapun yang terjadi.
Tidak butuh waktu lama, Azril langsung dapat beradaptasi dengan lingkungan pesantren. Kini ia sudah memiliki dua sahabat: Sulaiman, orang-orang memanggilnya Leman, tapi Azril malah memanggilnya dengan sebutan Lemon. Katanya giginya terlalu mancung, sehingga tidak perlu tersenyum giginya sudah tersenyum duluan, ya seperti kita memakan lemon, dengan sendiri akan tersenyum karena rasa asam. Ibrahim, sosok lelaki yang ditemuinya yang terlalu fokus pada buku dan kitab. Azril dengan tegas memanggilnya kutu kupret. Persahabatan mereka terjalin dengan penuh canda dan tawa. Meskipun Ibrahim terlalu serius tapi Azril selalu mengajarkan padanya obat awet muda banyak senyum dan ketawa.
Sudah satu tahun persahabatan mereka terjalin. Awalnya mereka saling bertemu saat Azril berada dalam satu kamar. Sifat Azril yang mudah bergaul membuat mereka menyukainya. Apalagi ditambah dengan sifatnya yang tidak memandang bulu jika ingin berteman. Hanya berbekal tulus sudah pantas menjadi teman Azril.
Sebuah janji yang belum tertuntaskan masih membekas dalam diri Azril. Ia selalu memanfaatkan Kutu kupret untuk mengajarkan banyak hal untuknya. Sehingga perpustakaan menjadi tempat favorit bagi mereka. Karena perpustakaan hanya satu dan dimanfaatkan oleh santri putra dan santri putri, mereka tidak diizinkan untuk berlama-lama di sana.
Setiap berjalan menuju ke perpustakaan ada saja candaan yang terlontarkan dari mulut Lemon dan balas oleh Azril, membuat suasana selalu rame meskipun hanya bertiga saja. Disela candaan, langkah kaki mereka terhenti dan candaan mereka berakhir tatkala melihat sosok wanita yang sangat cantik sedang keluar dari perpustakaan. Tidak sengaja matanya melihat ketiga pria yang sedang mematung itu membuatnya segera menundukkan kepala, menarik tangan sahabatnya, lalu mempercepat jalannya. Seberkas ingatan setahun silam singgah di dalam pikirannya. Sosok wanita berkerudung biru kini kembali muncul di depan matanya.
“Cantik sekali ... jika suatu saat nanti ana lulus dari sini, ana pasti akan mempersunting dia,” ujar Lemon tersenyum seraya membayangkan masa depannya dengan gadis berkerudung pink tadi.
“Mimpi!” ucap keduanya serentak membuat raut wajah Lemon suram.
“Kalian sirik aja lihat ana bahagia,” sahut Lemon melirik sebal.
“Bukan sirik, tapi sesekali lu ngaca dulu deh! Tapi ingat jangan ngaca di lumpur, soalnya lu juga nggak akan sadar diri,” celetuk Azril menyeringai. Kutu kupret menahan tawa agar tidak menciptakan kobaran api pada Lemon.
“Eh, kalian dengar ya! Jodoh itu di tangan Allah. Mana tau Allah berbaik hati sama ana, ana bisa menikahi dia.” Lemon membela diri. Ia cukup percaya diri dengan apa yang dimilikinya saat ini. Baginya, dialah laki-laki paling tampan setelah Azril dan Kutu kupret mengakuinya sebagai titisan cicit Abu Lahab.
Tak!
“Aww ...” pekik Lemon mengusap kepalanya bekas jitakan Azril.
“Jangan mimpi di siang bolong. Lu sama dia kagak ada cocok-cocoknya. Bagi lu bersyukur punya istri kayak dia, tapi bagi dia malapetaka dapat suami kayak lu.” Kutu kupret kembali tergelak tawa. “Dia itu cocoknya lelaki kayak gua, tampan, cool, dan pintar,” sambung Azril mengangkat kerah baju sendiri dengan sudut bibir yang tertarik sebelah.
“Yap, betul,” sahut Kutu kupret mengacungkan jempol.
“Itu sih maunya ente,” sahut Lemon bibir mengerucut.
“Iya dong ... Oh ya, siapa nama gadis itu?” tanya Azril dalam sekejap wajahnya berubah serius.
“Yang pakai kerudung coklat sepupu ana, namanya Nabila. Kalau yang pakai kerudung biru itu, namanya kalau nggak salah ingat A ....” Kedua mulut sahabatnya sudah menganga menunggu nama yang berinisial A.
“A ... ah, nanti ana tanyakan sama Nabila.”
Tak!
“Dudul,” ucap Azril kesal sambil menjitak kepala Kutu kupret.
“Kenapa malah dijitak kepala ana?” protes Kutu kupret menatap lugu.
“Lu, gua kasih waktu seminggu untuk cari tau nama dia dan juga alamat email dia. Kalau lu gagal, lu tau sendiri apa akibatnya,” ancam Azril menyoroti tajam.
Gluk! Kutu kupret menelan ludah. Raut wajahnya seketika lesu.
“Ingat tuh!” sahut Lemon cengengesan.
“Apa lu? Lu jangan berani-berani tikung dia dari gua! Gua jitak kepala lu,” ucap Azril dengan tangan sudah bersiap-siap hendak menjitak kepalanya.
“Ampun ... ampun ... ana nggak berani.” Lemon menunduk seraya mengatup kedua tangannya di atas kepala.
****
Sesuai dengan janji, seminggu kemudian, Kutu kupret datang menemui Azril dengan sebuah kertas di tangannya.
“Ini yang kamu minta.” Kutu kupret menyerahkan secarik kertas.
“Kerja bagus.” Sudut bibir Azril tertarik saat melihat nama dan alamat email tertera di kertas yang dipegangnya. Sesuai dengan keinginannya.
“Siapa namanya? Coba ana lihat?” Lemon bangkit dari duduknya dan hendak mengambil kertas itu.
“Jangan kepo jadi orang!” Azril menyentil keningnya. Tubuh Azril yang tinggi sangat mudah untuk menindas teman-temannya yang bertumbuh pendek.
“Azril, ana juga ingin tau namanya. Mungkin aja ana bisa nikung dia di sepertiga malam,” celoteh Lemon melas.
“Coba ulangi sekali lagi!” Sorotan mata tajam ingin melahap orang membuat Lemon seketika menciut, lari dan bersembunyi di belakang Kutu kupret.
“Assalamualaikum,” salam terdengar dari Ustadz Rozi yang mengajarkan ilmu komputer mengagetkan mereka dan seketika perkumpulan ketiga pria itu harus segera usai.