Bidadari Tanpa Wali

Syifa sifana
Chapter #3

Kemampuan & Kekaguman

Azril memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata. Hanya dengan sedikit diasah saja dia sudah mampu menguasai berbagai hal. Ditambah lagi dengan suaranya yang merdu mampu menarik para ustadz untuk menyuruhnya menjadi muazin bahkan menjadi imam di komplek putra.

Kemajuan yang terjadi pada Azril, mengundang kedua orangtuanya untuk melihat langsung. Azril dipanggil menghadap Kyai Hasan ke rumahnya untuk menguji kemampuan yang dimiliki Azril selama di pondok pesantren.

Dengan keyakinan yang kuat, Azril melangkahkan kakinya masuk ke rumah Kyai dengan kedua sahabatnya Lemon dan Kutu kupret. Betapa terkejutnya ia saat melihat kedua orangtuanya hadir di sana untuk melihatnya. Azril melepaskan kerinduannya bersama dengan mereka. Sejak di pesantren kedua orangtuanya hampir tidak pernah menjenguknya, itu semua dilakukan agar Azril lebih terbiasa dengan dunia pesantren dan tidak terlalu ingat dengan kehidupan di luar.

“Bagaimana, Nak? Apa kita bisa mulai?” tanya Kyai Hasan. Azril menganggukkan kepala. Kyai Hasan mulai membaca ayat Al-Qur’an secara acak lalu meminta Azril untuk meneruskannya. Lantunan ayat Al-Qur’an yang begitu jernih dan indah menggetarkan setiap telinga yang mendengarkannya. Bahkan burung yang sedang berkicau saja bisa langsung serak.

Langkah kaki Alya dan Nabila seketika terhenti saat mendengar suara Kyai Hasan dengan suara sosok lelaki yang belum pernah ia dengar sebelumnya.

“Masya Allah ... bagus sekali. Suara siapa itu?” gumam Nabila takjub. Rasa penasaran tidak hanya dimiliki Nabila saja, tapi Alya juga ikut merasakan hal yang sama.

“Sudah, sebaiknya kita masuk,” ucap Alya beranjak pergi melewati pintu belakang. Iya, hal yang selalu mereka lakukan saat masuk ke rumah Kyai Hasan untuk menghindari berpapasan dengan para tamu yang datang silih berganti.

“Alya, Nabila.” Ummi Salma memanggil mereka. Mereka tersenyum dan menghampirinya.

“Ummi, siapa orang yang sedang muraja’ah sama Kyai?” Nabila langsung bertanya karena ia tidak bisa menyimpan lebih lama lagi rasa penasaran.

“Itu, anaknya ustadz Ali. Abah lagi menguji dia,” jawab Ummi Salma.

“Menguji bagaimana? Bukannya selama ini Abah jarang menguji santrinya?” Tingkat rasa penasaran Nabila kian meningkat.

“Ada kesepakatan yang terjalin antara Azril dengan Abah. Ummi juga kurang paham.” Meskipun Alya terdiam, tapi ia masih menyimpan rasa penasaran pada sosok lelaki itu. Tapi tidak ingin terlarut dalam memikirkan hal yang pantas ia pikirkan, ia memutuskan untuk stop.

Nabila tergeming dan sepertinya ia pernah mendengar nama sosok lelaki yang disebut Ummi Salma padanya. “Alya, sepertinya Azril yang disebut Ummi itu, Azril Fatah yang ngirim email ke anti,” bisik Nabila mencurigai. Seketika kedua mata Alya membelalak. Ia tidak menyangka orang yang diremehkannya memiliki bakat yang luar biasa.

“Ummi, kalau kami menguping mereka berdosa tidak ya?” tanya Nabila dengan raut wajah polos.

“Anti ini apa-apaan sih?” tegur Alya mencubit lengannya.

“Ana kan penasaran sama Azril, ana mau dengar sejauh mana Abah menguji kemampuan dia.”

“Sudah-sudah. Daripada kalian penasaran, ayo ikut Ummi! Kita duduk di sebelah sana saja.” Ummi Salma menunjukkan ruangan yang bersebelahan dengan ruangan tamu.

Nabila dengan semangat 45 langsung menarik tangan Alya dan beranjak pergi mengikuti Ummi Salma. Ruangan itu khusus bagi akhwat yang ingin bertemu dengan Ummi Salma. Biasanya ruangan itu dijadikan juga ruangan keluarga.

Tidak hanya menguji hafalannya saja, Kyai Hasan juga menguji Azril dalam membaca dan memahami kitab fiqih yang ia pelajari. Dengan tenang, Azril mulai membacanya dan juga menafsirkan bacaannya. Semua orang kagum dengan bakat Azril. Terutama kedua orangtuanya, mereka merasa sangat bersyukur anaknya dikirim di pesantren. Jika dulu lebih bar-bar kini sudah menjadi orang yang lebih sabar. Ribuan pujian selalu mereka ucapkan pada sang Khaliq, karena rahmat dan hidayah hanya dari-Nya.

Alya semakin terkagum-kagum dengan sosok Azril. Entah kenapa, Azril memiliki daya tarik yang berbeda dibandingkan dengan orang hebat lainnya yang datang melamarnya. Padahal jika dibandingkan dengan mereka, Azril bukanlah apa-apa, tingkat ilmu Azril juga tidak seberapa, tetapi ada sesuatu hal yang sulit dicerna dengan akal pikiran yang saat ini dirasakan Alya.

“Bagaimana, nyesel kan udah nolak dia?” bisik Nabila menyeringai.

“Diam, jangan banyak bicara. Di sini ada Ummi,” balas Alya.

“Azril sebenarnya pintar, tapi karena pengaruh dunia luar saja dia sempat ikut-ikutan,” ucap Ummi Salma.

Alya tidak menanggapi pembicaraan mengenai Azril, ia malah berdalih dengan pertanyaan seputar ilmu agama. Ummi Salma sangat paham dengan Alya, setiap kali ia menyinggung tentang lelaki, ia selalu menepisnya dengan berbagai pembahasan.


*****


Suara indah Azril masih membekas di telinga Alya. Rasa penasaran akan sosok lelaki itu kian menggerogoti pikirannya. Sejauh ini ia belum pernah merasakan perasaan ini, tapi entah kenapa Azril mampu mengusik ketenangannya. Hingga menghantarkannya pada email yang sempat dikirim Azril untuknya. Berulang kali ia membacanya hingga tidak terasa tangan itu tergerakkan untuk menyapanya kembali. Rasa gengsi membuatnya harus menghapus berulang kali kalimat yang sudah dirangkainya begitu indah. Namun pada akhirnya perasaannya langsung menekan tombol untuk mengirim pesan itu.

“Eh, kenapa ana harus mengirimnya sih? Ya Allah ... dimana letak harga diri ana?” Alya terus mengutuki diri sendiri dalam hatinya.

Nabila memiringkan wajahnya dan menatap layar komputer milik Alya. “Cie .. Azril Fatah,” ledek Nabila dengan suara kecil. Alya terkejut dan buru-buru menonaktifkan emailnya.

“Kalau cinta bilang cinta, jangan terlalu banyak gengsi!” bisiknya menyeringai.

“Nabila, tolong fokus!” Suara begitu keras seketika membuat senyumannya memudar dan kembali fokus pada komputernya. Alya hanya tersenyum kecil dan juga ikut kembali fokus.

Pesan singkat itu sampai pada Azril. Sedikit penasaran ia pun mulai membacanya. Karena pernah ditolak, Azril bersikap dingin dan tidak menghiraukannya.


*****


Pesan masih belum dibalas membuat suasana hati Alya galau tidak menentu. Setiap hari pikirannya selalu menerka-nerka perihal Azril yang tidak kunjung merespon emailnya. Ia mulai bersu’udzon pada dirinya atas jari-jarinya yang sudah terlalu tegas saat Azril mencoba mengenalnya lebih dekat.

“Astagfirullah, kenapa anajadi memikirkan dia. Ya Allah, ampuni hamba yang telah berdosa pada-Mu. Tidak seharusnya hamba memikirkan lelaki yang haram atas hamba.” Alya terus beristighfar dan menenangkan pikirannya yang sudah teracuni oleh virus lelaki untuk pertama kalinya.

“Ya Allah, kenapa sosok Azril masih menghantui pikiran hamba?” Alya menghentakkan kakinya sambil mengusap gusar wajahnya. “Ok, ok, Alya, tenangkan diri ana! Jangan pernah memikirkan dia lagi. Hilangkan semua pikiran ana tentang dia. ana tidak boleh memikirkan dia. ana tidak kenal dengan dia. ana hanya mendengar suara dia saja, mungkin saja dia tidak sesuai dengan ekspektasi ana. Sekarang ana tenangkan pikiran ana dan buang jauh-jauh pikiran ana tentang Azril. Ok,” tutur Alya menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkan perlahan-lahan seiring dengan matanya yang dipejamkan untuk menenangkan dirinya.

DOR!

“Astagfirullah, Azril,” ucap Alya Spontan.

“Azril? ... Hayo, Anti lagi mikirin Azril ya?” celetuk Nabila menyeringai.

“Eng−ngak kok, siapa yang mikirin dia,” jawab Alya terbata-bata. Matanya sudah mengedar mencari-cari sesuatu agar dapat menghalangi pandangan Nabila pada dirinya.

Nabila menatapnya lekat, tiba-tiba bibirnya kembali menyeringai. “Tidak semua orang punya bakat berbohong. Jadi, sejak kapan Alya Zahra yang menjunjung tinggi tingkat kejujuran mendadak beralih pada kebohongan?”

“Eh ... anu ... itu ....” Alya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, mencari sebuah alasan yang logis agar Nabila tidak terus meledekinya.

“Udah deh, tidak usah anu ani ono. Sebenarnya anti mikirin apa sih? Kenapa anti sampai melamun?” cerocos Nabila. Tatapan ke dua bola matanya tertuju pada Alya seperti seorang polisi sedang menginterogasi tersangka.

“Anti kenapa sih menatap ana seperti itu? ana bukan penjahat loh,” keluhnya risih.

“Kalau gitu langsung aja ngomong. Capek tau dari tadi ana tanyain itu mulu. Senam mata kan ana jadinya.”

“Lagian anti sih datang-datang tidak ucap salam, malah ngagetin.”

“Hei, dari tadi ana sudah ucap salam, sudah panggil-panggil nama anti, tapi antinya saja yang tidak dengar, sibuk mikirin Azril sih,” protes Nabila memanyunkan bibir.

“Eh, bukan seperti itu. Ana ….” Tatapan Nabila mulai serius menunggu jawaban Alya yang mendadak tergantung.

“Hmm ... anti ngapain ke sini?” tanya Alya berdalih.

“Haish ... kenapa anti malah jadi belibet kayak gini sih? Sebaiknya anti jujur aja, ngapain sih malu sama ana,” cerocosnya kesal.

“Bukan gitu, tapi ….”

“Alya, kenapa? Jujur aja sama ana. Kita ini sahabat, ana aja selalu terbuka sama anti, kenapa anti tidak bisa terbuka sama ana?” Nabila memasang wajah melas.

Alya mendengus kasar, perlahan ia mulai menggerakkan bibirnya. “Iya, Alya memang memikirkan Azril. Tapi itu tadi, sekarang sudah tidak lagi kok.”

“Kenapa? Tumben banget anti mikirin cowok?” Nabila semakin penasaran dengan sikap Alya yang sekarang ini. Ia seakan melihat wujud lain yang berdiri di depannya saat ini.

“Entahlah, Bila. Alya pusing. Sejak waktu itu pikiran Alya mulai teracuni dengan sosok Azril. Alya selalu berusaha untuk tidak memikirkan dia, tapi pikiran Alya selalu saja ada nama dia. Ya Allah ... Bila ... Apa yang harus Alya lakukan?” Alya mengerut kening lalu mengusap gusar wajahnya. Ia tampak bingung dan frustrasi dengan diri sendiri. Detik itu juga suara gelak tawa terdengar dari bibir tipis pink itu.

“Hahaha …”

“Kok anti malah ketawa sih?” Alya melirik sebal. 

“Alya, itu namanya anti sedang jatuh cinta.”

“Jatuh cinta apaan sih? Enggaklah.” Alya langsung menepisnya.

“Alya, anti itu sudah dewasa masa iya masalah begituan harus dijelaskan secara detail.” Nabila memutar bola mata geram pada gadis yang memiliki alis lebar dan sedikit bulu tipis di tengah sebagai penghubung alis satu sama lain.

Alya tergeming dan mulai menela’ah apa yang dikatakan Nabila. “Tapi tidak mungkin. Masa Alya jatuh cinta sama orang yang belum Alya kenal?”

Nabila langsung menepuk jidatnya. “Alya ... kenapa sih tidak pernah peka? Gini nih orang yang selalu fokus pada buku, sampai-sampai cinta aja kagak tau,” cerocos Nabila sebal.

“Eh, sudah, sudah. Kita tidak boleh bahas lagi laki-laki itu. Lagipula kita tidak boleh memikirkan laki-laki yang bukan mahram kita.” Alya melerai. Mulutnya menolak tapi pikirannya masih tertuju pada Azril. Virus yang disebut cinta tapi belum diyakini Alya sungguh berbahaya bagi kesehatan.

“Ya sudah nikahi saja biar jadi mahram.,” sahut Nabila santai.

“Nikah-nikah saja dalam pikiran anti, Bila.”

“Hahaha ... Oh ya, ana sampai lupa, amanah ummi anti disuruh siap-siap, katanya mau diajak ke walimah.”

“Ya Allah, Alya sampai lupa, kan.” Alya langsung beranjak bangun. Nabila tersenyum geleng-geleng kepala. “Alya ... Alya ....”

Sesaat kemudian, Alya kembali menghampiri Nabila. “Gimana penampilan, Alya? Tidak memalukan kan?” Alya berdiri di depan Nabila dengan gaun hitam dan kerudung panjang yang menutupi dadanya. Meskipun ia sudah memakai pakaian terbaik tapi rasanya ia masih belum percaya diri sebelum mendapat komentar dari Nabila.

“Anti terlihat sangat cantik,” ucap Nabila sambil merapikan kerudung Alya.

“Terima kasih, Bila. Anak pamit dulu ya. Assalamu’alaikum.”

“ Wa’alaikumsalam.”

Sudah seperti anak sendiri, Alya selalu diajak kemanapun mereka pergi. Wajar saja, mereka tidak memiliki anak perempuan, selain itu semua anak dan menantunya tinggal di luar kota. Ditambah lagi Alya yang tidak pernah merasakan kehangatan dari sosok ayahnya dari sejak lahir, dengan kasih sayang yang diberikan Kyai Hasan kepadanya, ia mampu merasakan kehangatan seorang ayah. Kyai Hasan dan ummi Salma sangat mencintai anak-anak yatim dan orang miskin, hal itu sudah tertanam dalam dirinya sebagai wujud cintanya kepada Allah dan Rasul. Seperti dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a berkata: Rasulullah SAW bersabda: ‘Saya dan orang yang memelihara anak yatim di surga, seperti ini (sambil merenggangkan jari telunjuk dan jari tengah).’ Dalam hadis yang diriwayatkan Tirmizi, Rasulullah saw bersabda: ‘wahai Aisyah, cintailah orang miskin dan dekatlah dengan mereka karena Allah akan dekat dengan-Mu pada hari kiamat.’


*****


Datang bersama dengan orang yang terpandang sungguh sangat dihargai oleh pemilik rumah. Mereka disambut dengan baik dan duduk di tempat khusus VVIP. Sebenarnya Alya kurang menyukai kehidupan yang ramai apalagi banyak mata yang menatapnya. Jujur saja ia seorang wanita yang pemalu.

“Ummi, dia cantik sekali. Siapa namanya, Ummi?” tanya seorang wanita paruh baya.

“Namanya Alya, dia anak saya.”

“Anak Ummi? Bukannya Ummi tidak memiliki anak perempuan?”

“Dia anak angkat Ummi. Tapi Ummi menganggapnya sudah seperti anak Ummi sendiri,” jawab Ummi Salma.

“Ummi, boleh tidak kalau Alya itu dinikahkan sama anak saya?” tanya Almira penuh harap. 

Ummi Salma tersenyum sembari melirik Alya yang sedang fokus menatap wajah pengantin wanita. “Bukan Ummi menolaknya. Tapi Alya masih terlalu kecil untuk menikah.”

Almira kembali menoleh menatap Alya. “Berapa usia dia, Ummi?”

“Baru 16 tahun. Kemarin ada beberapa orang ingin melamar dia juga, tapi katanya dia mau fokus pada pendidikannya,” jawab Ummi Salma berterus terang dengan apa yang selama ini disampaikan Alya padanya ketika banyaknya lelaki yang datang ingin meminangnya.

“Kalau begitu simpan saja dia untuk anak saya, Ummi. Saya ingin sekali berbesan dengan Ummi.”

Ummi Salma tersenyum geleng-geleng kepala. “Jodoh itu urusan Allah. Kita sebagai manusia hanya bisa berikhtiar dan berdoa. Ummi tidak bisa menjamin Alya untuk anakmu. Semua keputusan ada pada Alya. Ummi tidak bisa memaksa,” jawab Ummi Salma jujur. Ia tidak ingin memaksakan kehendaknya. Meskipun ia sangat berharap suatu hari nanti Alya bisa didampingi oleh seorang pria yang mencintainya karena Allah.

Lihat selengkapnya