Bidadari Tanpa Wali

Syifa sifana
Chapter #4

Bersalah Harus Dihukum

Saling memantapkan diri dan terus berusaha yang terbaik, itulah janji di antara kedua insan yang sedang jatuh cinta. Mereka tidak ingin cinta yang tumbuh dalam hati membuat mereka harus tunduk pada hawa nafsu dan terlena dengan segala perasaannya saat ini yang akan membuat mereka bermalas-malasan dalam menuntut ilmu.

Seperti sebuah alarm, mereka berdua saling mengingatkan jadwal masing-masing dan saling berbagi ilmu via email. Tidak dipungkiri kemampuan yang dimiliki Azril sangat mengagumkan, dia sangat cepat dalam menguasai berbagai bidang ilmu. Hanya saja dia terkadang bermalas-malasan, dan tidak suka jika ada orang yang terlalu mengagung-agungkan namanya. Karena itu ia lebih menahan semua kemampuan selama ini di dalam dirinya. Tapi siapa sangka, dengan kehadiran Alya yang menghiasi hatinya, ia terdorong untuk keluar dari zona aman, sehingga namanya kian mencuat di seluruh antero pesantren.

Suara merdu, pintar dan tampan sudah dimiliki oleh Azril. Kini ia sangat pantas untuk menjadi muadzin masjid yang ada di dalam perkerangan pesantren. Setiap kalinya ia mengumandangkan azan, suaranya mampu menggetarkan hati setiap yang mendengarnya, sehingga banyak dari santri putri yang penasaran akan dirinya dan bertanya-tanya tentang sosok lelaki yang selalu mengisi suara azan setiap shalat lima waktu. Tidak hanya sampai disitu, kepintaran Azril mampu mengukir berbagai prestasi di dalam pesantren maupun di luar pesantren. Namanya suka dicari oleh ustadz-ustadz untuk menawarkan berbagai perlombaan.

Seiring dengan terkenalnya Azril, ternyata ada orang yang tidak menyukai dirinya. Sorotan mata api kecemburuan jelas terlihat dari pria berpeci miring, Zaky Kurniawan. Zaky adalah salah satu santri yang sempat tenar dulunya karena pintar dan sejak saat itu tidak ada yang mampu mengalahkan dirinya. Namun semenjak kehadiran Azril, posisinya sudah tersingkirkan, ia sekarang selalu menjadi pengganti apabila Azril tidak bersedia.

Sebuah ide cemerlang terlintas dalam benak pikiran Zaky bersamaan dengan senyuman licik. Ia segera mengajak temannya Romi dan Fariz untuk membantu menjalankan misinya.

Ketiga lelaki itu datang ke kamar yang ditempati Azril. Romi dan Fariz ditugaskan untuk berjaga-jaga di depan pintu, sedangkan Zaky masuk dengan membawa seember air. Zaky mengedarkan pandangannya mencari-cari ranjang milik Azril. Ketika sudah berhasil menemukannya, Zaky langsung menyiram air itu ke atas ranjang dan juga menyiram buku-buku catatan Azril. Setelah merasa puas, Zaky segera keluar dari kamar itu sebelum ada orang yang melihatnya.

Hujan rintik-rintik di luar membuat suasana dingin dan sangat cocok untuk merebahkan tubuh di atas ranjang yang sederhana. Setelah selesai kelas malam, Azril, Lemon dan Kutu kupret kini kembali ke kamar untuk istirahat. Canda dan tawa masih pecah pada ketiga sahabat tersebut sambil berjalan menuju kamar. Sesampainya di kamar, Azril membuka selimut dan langsung merebahkan tubuhnya.

“Kenapa kasur gua basah?” pekik Azril dengan nada suara yang tinggi.

Lemon dan Kutu kupret kaget, lalu menghampirinya. “Ada apa?”

“Coba lihat sendiri! Kasur gua basah, baju gua juga ikut basah.” Azril menunjukkan ke arah ranjangnya dan juga memperlihatkan punggungnya yang sudah basah.

“Iya basah. Jangan-jangan ente ngompol ya?”

“Ngompol pala lu ... ini pasti ada yang mau main-main sama gua.” Gigi putih nan rapi itu saling bersentuhan antara atas dan bawah sehingga terdengar gertakan yang cukup hebat ditambah dengan kepala tangan yang siap menghantam siapapun yang ada di depannya.

“Siapa? Memangnya ente punya musuh?” Kutu kupret memeriksa semua barang yang ada di sana.

“Buku-buku ente juga basah, Azril.” Lalu ia memperlihatkan buku milik Azril yang ada di atas meja. 

Azril semakin murka. Ia merampas dari buku itu dari tangan Kutu kupret lalu meremasnya kuat. “Gua nggak terima diperlakukan kayak gini. Siapapun lu, tunggu aja pembalasan dari gua.” Begitulah sumpah yang terucap dari lak-laki jangkung itu. Selama ini ia sudah cukup bersabar menerima lingkungan pesantren yang menghambat gerakannya. Dia pria sejati yang memegang omongan dan menempati janji. Kesepakatan yang terjalin dengan Kyai-lah yang membuatnya sedikit bersabar. Tapi tidak untuk kali ini. Api kemarahan sudah melahap kesabarannya.

“Jangan emosi dulu! Sebaiknya kita tanya sama anak-anak. Siapa tau ada yang lihat orang yang mengerjai ente.” Kutu kumpret berkata dengan lembut untuk meredamkan emosi Azril yang mulai dirasakannya. Pahatan indah dari sang pemilik―Azril seketika lenyap saat marah. Dia bisa berubah menjadi laki-laki urakan, soleh, santun bahkan iblis sekalipun jika ia mau dan emosinya tidak terkontrol.

“Iya bener. Kita tunggu aja, sebentar lagi mereka juga masuk ke sini, terus kita interogasi satu persatu,” timpal Lemon menyetujui usulan dari Kutu kupret. Sedari tadi dia juga mengedik ketakutan melihat sorotan mata elang seperti hendak menangkap anak ayam.

Perlahan Azril mencoba meredamkan emosinya dan menunggu teman sekamarnya masuk. Begitu teman-temannya masuk, Azril, Lemon dan Kutu kupret langsung menginterogasi mereka satu persatu. Wajah mereka langsung lesu saat tidak mendapati dalang dibalik semua ini.

“Sabar, kita jemur dulu kasurnya. Besok baru kita selidiki lagi.” Lemon menepuk pundak Azril, lantas Azril mengangguk setuju. 

Langkah kaki Azril sudah mantap untuk keluar membawakan kasur miliknya sendiri, tiba-tiba saja langit menghitam dan air mulai merembes ke bumi. “Sialan!” umpat Azril semakin murka dan melempar kasur begitu saja di lantai.

Lemon dan Kutu kupret bersikutan tangan. Baru kali ini mereka melihat semurka itu sosok Azril yang selama ini sangat humble meskipun tidak jarang melontarkan kata-kata yang membuat semua orang kesal.

“Biarkan di situ saja!”

“Terus gua tidur pake apa? Kampret! Anjing tuh anak yang udah berani sama gua.” Azril menendang kasar kasur miliknya hingga bergeser menyentuh kaki Lemon dan Kutu kupret, dan untung mereka melompat mundur.

“Sebaiknya kasur kita berdua digabungkan saja. Nanti kita bisa tidur bertiga.” Kutu kupret memberi sebuah ide brilian. Sementara Azril tidak menjawab dulu. Ia masih memikirkan dengan seksama.

“Iya benar-benar.” Lemon segera mengangkat kasurnya dari ranjang, lalu meletakkan di lantai. Begitu juga dengan Kutu kupret.

Lihat selengkapnya