Bulan Ramadhan sudah berada di depan mata. Sesuai dengan peraturan di pesantren, setiap bulan Ramadhan seluruh santri diliburkan dan akan kembali menjalankan rutinitasnya di pesantren setelah lebaran ke-10. Meskipun peraturannya menguntungkan bagi santri untuk bisa menghabiskan waktunya bersama dengan keluarga, tapi pihak pesantren tidak membuat semuanya menjadi lebih ringan, terutama bagi santri putra. Setiap santri putra yang sudah senior harus menjadi imam shalat tarawih dan memberi tausiah selama bulan Ramadhan di tempat yang berbeda-beda. Pihak pesantren sengaja menerapkan peraturan seperti itu, guna melatih mental para santri ketika berada di lingkungan masyarakat.
Sebagai santri yang terbilang sudah senior di dalam pesantren, Azril, Lemon dan Kutu kupret terpaksa harus menerima tugas yang berat itu. Sebenarnya Azril tidak begitu senior di pesantren, tapi karena kepintarannya membuat dia sangat mudah lompat kelas dan menjadi santri senior.
“Ana mau balik jadi santri junior aja.” Lemon merutuk sebal.
“Sudah nggak bisa. Kita sudah jadi senior di sini,” balas Kutu kupret dingin.
“Lo tau ‘kan, beban apa yang harus kita pikul selama bulan Ramadhan ... jadi imam plus ngisi tausiah ... satu bulan penuh, Kutu kupret.” Lemon mengusap kasar wajahnya.
“Terus mau kamu gimana? Kalau mau protes, sok atuh sama kyai.” Kutu kupret sebenarnya juga merasakan apa yang dirasakan Lemon, tapi dia tetap harus menghadapinya meskipun sedikit demam panggung ketika berdiri di depan masyarakat luas.
“Kutu kupret ... kampret ... ente ini tenang amat sih jadi orang. Padahal ente sendiri juga sama kayak ana, sama-sama demam panggung.”
“Bukan ana yang tenang. Tuh lihat senior kita yang satu ini lebih tenang lagi, kayak nggak ada beban,” kata Kutu kupret sambil menunjukkan Azril dengan lirikan matanya. Lemon mengikuti lirikan mata Kutu kupret, menatap Azril dengan penuh tanya.
“Apa?” Azril menatap polos.
“Ente nggak merasa terbebani dengan tugas ini?”
“Enggak. Bodo amat sama tugas kayak gini.” Azril sambil melempar jadwal imam dan tausiah ke wajah Lemon.
“Tugas kayak gini gampang. Selama gua bisa kontekan sama kekasih gua, tugas kayak gini nggak masalah buat gua,” imbuhnya kembali menyepele. Lemon dan Kutu kupret langsung menepuk jidatnya masing-masing.
“Hadeh, aing pusing.”
“Kita ‘kan satu tim ni, gimana kalau tugas ini ente semua yang kerjakan?” cetus Lemon menaik turunkan alisnya, tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi yang maju ke depan dan menenggelamkan hidungnya yang kalah mancung dari gigi.
“Gigi lu.” Azril langsung menjitak kepala Lemon.
“Aduh ... sakit Azril,” keluh Lemon mengusap kepalanya.
“Kita ini satu tim. Jadi kita harus kerjasama. Malam pertama Azril jadi imam, ana yang tausiah dan ente Lemon bagian baca doa. Nanti malam ke dua dan seterusnya kita rolling. Jadi semuanya dapat jatah masing-masing.” Kutu kupret meluruskan, membagi tugas agar semuanya mendapatkan jatah masing-masing.
“Ok. Gua setuju,” sahut Azril dengan cepat.
“Tolongin ana! ana benar-benar nggak bisa jadi imam apalagi tausiah di depan orang ramai, langsung demam panggung.” Lemon memohon memasang wajah melas.
“Terus lu bisanya apa juga?”
“Jadi imam rumah tangga.” Azril mengangkat tangannya, secara spontan Lemon menunduk.
“Ini yang imam rumah tangga.” Tidak berhasil menjitak, Azril lekas menjewer telinga Lemon.
“Hadedede ... sakit, Azril. Masih ana pakai telingaku.” Lemon meringis kesakitan.
“Dah, dah, bubar semuanya.” Azril menepuk kedua pundak teman-temannya lalu masuk ke dalam mobil jemputan. Begitu juga dengan Lemon dan Kutu kupret.
*****
Inilah saat yang dinantikan Azril. Begitu mobil berhenti di depan rumah. ia lekas turun dan berlari. Sama sekali tidak peduli dengan tas yang masih ada di dalam mobil. Fokusnya hanya satu, masuk ke dalam kamar lalu mengambil benda pipih yang sudah sangat dirindukannya.
“Dasar anak-anak.” Orangtua Azril tidak meneriaki tapi malah tersenyum geleng-geleng kepala. Mereka bisa bernostalgia dengan melihat sikap Azril.
Senyuman lebar terbit di bibir sang pemilik rahang kokoh itu. Ia mengambil ponsel mencari nickname Amore. Dalam bahasa Itali berarti cintaku.
Jantungnya berdegup kencang, bukan karena ngos-ngosan saat berlari, melainkan jantung berpacu cepat saat jempolnya menekan tombol panggil.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.” Jawaban salam terdengar begitu lembut di telinga Azril. Sejak perkenalan dari awal masuk pesantren hingga kini, Azril belum pernah sekalipun mendengar suara Alya. Mereka bertemu dari jarak yang jauh, dan tidak pernah bersenandung bahkan dengan kata sapaan sekalipun.
“Masya Allah, bagus sekali suaramu.” Azril spontan memuji mengusik telinga yang mendengar hingga kedua pipinya memerah bak tomat.
Hening. Alya tidak bisa berkata-kata. Ia terlalu jengah saat ini.
“Halo ... masih ada orang?”
“Iya, Alya masih ada di sini.”
Percakapan mereka terus berlanjut. Semula hanya ingin bertanya kabar masing-masing, bahkan lebih tepatnya untuk mendengarkan suara satu sama lain, tapi percakapan mereka semakin asik hingga tidak terasa azan dzuhur dan mengakhiri obrolan itu.
Seperti bucin (budak cinta) kata anak jaman sekarang, itulah yang digambarkan pada pasangan yang sedang dilanda cinta saat ini. Setiap saat mereka saling mengabarkan dan saling mengingatkan untuk beribadah dan bahkan untuk sekedar jangan lupa makan, jangan begadang dan lain sebagainya. Mereka juga saling bercerita, berbagi pengalaman yang sama ketika berada dalam pondok pesantren. Azril yang notabenenya humoris dan romantis, selalu membuat Alya tertawa dan tersipu malu. Sifat Azril yang seperti ini membuat perempuan tidak ingin beranjak dari sisinya. Kehangatan dan perhatiannya mampu membuat mereka terhipnotis dan meleleh seketika. Kelebihan inilah yang membuat kedua orangtuanya harus mengelus dada bahkan memijat pelipis. Hampir setiap hari selalu saja ada yang datang ke rumah untuk bertemu dengan Azril. Konon katanya tidak dijawab panggilannya bahkan ada yang mengadu karena diputuskan secara sepihak.
*****
Perjalanan yang menyita waktu sejam kini harus ditempuh Azril bersama Kutu kupret untuk menuju ke sebuah perkampungan yang tidak jauh dari rumah Lemon. Perjalanan kali ini terasa singkat karena Azril menggunakan moge (motor gede). Azril mengendarai motor layaknya seorang pembalap di road race, yang tidak memperhatikan banyaknya kendaraan besar di jalan. Kutu kupret yang duduk di belakangnya, hanya bisa pasrah kepada Allah agar hidupnya dapat terselamatkan. Mata yang terpejam seiring memeluk erat tubuh Azril dan bibir terus bergetar melafazkan asma Allah. Hatinya ingin sekali menggerutu, mengutuki Azril, tapi ia takut Allah akan mengabulkan doanya dan mereka harus berakhir pada jalan yang baik, yaitu kecelakaan pada jalan aspal.
Tidak terasa, kini motor Azril sudah berhenti di depan sebuah rumah sederhana milik Lemon. Tubuh Kutu kupret sudah lunglai, dengan dibantu oleh Lemon, Kutu kupret pun segera turun dari motor, lalu mencari tempat untuk bisa mengeluarkan semua isi perut yang sudah tidak tertahan lagi. Azril tertawa menyelanya saat melihat Kutu kupret yang lemas tidak berdaya. Sedangkan Lemon, malah mencebik Kutu kupret. Kutu kupret hanya bisa pasrah, toh dirinya sudah tidak memiliki brangkas kata-kata untuk membalas segala hinaan mereka.
Meskipun begitu, mereka disambut hangat oleh kedua orangtua Lemon. Sri dan Hasan menyuruh Lemon untuk mengantarkan teman-temannya ke kamar tamu, agar mereka dapat beristirahat. Kutu kupret menjadi orang pertama tanpa malu untuk berbaring di atas kasur sebelum Lemon mempersilakannya. Kepalanya masih terasa berat dan matanya masih berkunang-kunang, seakan jalanan yang berbelok-belok masih menggetarkan tubuhnya.
Sri datang membawa nampan berisi minuman dan makanan ringan untuk tamu anaknya. Tidak ingin merepotkan Sri, Azril bergegas mengambil nampan lalu meletakkan di atas nakas.
“Bangun! Minum dulu!”
“Ana benaran lemas banget. Kepala masih pusing,” keluh Kutu kupret meletakkan lengan di dahinya sambil matanya dipejamkan.
“Kalo gitu ini semuanya buat gua.” Azril memancing. Dan di detik kemudian Kutu kupret lekas langsung mengambil gelas minuman.
“Eist, jangan! Itu jatah ana.”
“Katanya tadi nggak mau … gimana sih lu.”
Setelah mengobrol dan makan malam bersama, tidak terasa suara azan mengakhiri keseruan mereka. Mereka semua segera menuju ke musholla kecil yang ada dalam rumah Lemon. Serentak membentangkan sajadah, lalu menghadap Tuhan yang satu, Allah SWT yang diimami oleh Hasan.
Di tutup dengan doa mereka segera bersiap-siap menuju sebuah kampung yang berada tidak jauh dari posisi tinggal sekarang.
Suasana bulan Ramadhan sangat jelas terasa. Semua tempat beribadah umat muslim dimeriahkan dengan suara kalam Allah yang dibacakan setiap saat, baik anak-anak ataupun orang dewasa semuanya ikut menyemarakkan kedatangan bulan suci Ramadhan yang jatuh sebulan dalam setahun.
Ketiga pemuda yang diutuskan dari pihak pesantren disambut hangat oleh para perangkat desa dan masyarakat di sana. Mereka langsung dipersilakan untuk melakukan tugas mereka. Bahkan salah satu dari mereka diminta untuk mengumandangkan adzan. Lemon dan Kutu kupret langsung mengambil langkah mundur, dan membiarkan Azril untuk melakukannya. Azril mendengus kasar sambil menggeleng-geleng kepala saat melihat kelakuan teman-temannya yang tidak pernah berubah dari dulu.
Allahu akbar … Allahu akbar …
Suara adzan yang terdengar sangat merdu menggetarkan hati setiap makhluk yang mendengarnya. Bahkan burung yang sedang terbang saja, bisa langsung mendarat di sembarang tempat. Semua orang bergegas datang demi memenuhi panggilan Allah. Senyum lebar penuh semangat dan kebahagiaan jelas terlihat dari raut wajah mereka. Terutama ketiga laki-laki itu. Mereka merasakan kebahagiaan yang tiada tara saat melihat orang-orang berdatangan memenuhi saf.
Setelah adzan dan iqamah, semua jamaah serentak mengangkat tangan mengikuti imam melaksanakan shalat Isya’, dilanjutkan dengan shalat tarawih 20 rakaat, ditambah dengan 3 rakaat shalat witir. Meskipun terbilang lama, tapi dengan suara Azril yang merdu, ditambah lagi dengan kefasihannya saat membaca setiap kalam Allah, membuat mereka ketagihan ingin terus di imami oleh pemuda yang tiba-tiba saja menjadi idola Ibu-ibu dan anak gadis, bahkan janda.
Tidak terasa, shalat sudah selesai, dan ditutup dengan doa yang dibacakan Lemon.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, alhamdulillah dengan karunia Allah kita sudah menyelesaikan ibadah pertama pada malam bulan Ramadhan. Hadirin jamaah yang dimuliakan Allah, pada malam hari ini kita kedatangan tamu dari pondok pesantren Darul Ihsan. Ini merupakan suatu kehormatan kepada kita semua di kampung ini dengan hadirnya pemuda-pemuda ini, semoga tahun depan anak-anak kita bisa seperti mereka juga. Amin. Jamaah semua, jangan beranjak dulu karena kita akan mendengarkan tausiah dari anak kita, Nak Ibrahim, kami persilakan.”
Suara yang terdengar dari pengeras suara yang tidak begitu keras, seiring dengan tirai yang ditarik hingga tidak ada pembatas antara jamaah laki-laki dan perempuan, selain jarak. Suara itu berasal dari tokoh masyarakat yang sangat dihormati di kampung tersebut. Semua mata tertuju pada ketiga sosok asing yang saat ini duduk di deretan petinggi kampung.
Kutu kupret mengambil mic dari tangan kepala desa, lalu mulai memberikan tausiah singkat sesuai dengan apa yang diajarkan di pondok pesantren. Semua orang terdiam dan fokus mendengarkan tausiah dari Kutu kupret. Meskipun usia Kutu kupret masih terbilang cukup muda, tapi tidak membuat masyarakat kampung itu meremehkan. Yang ada mereka menaruh perhatian khusus pada mereka.
Kutu kupret memperkenalkan dirinya dan teman-temannya serta pondok pesantren tempat mereka menuntut ilmu. Semua mata tertuju pada Azril, mulai dari kaum lansia hingga anak-anak. Mereka mulai berimajinasi dengan kekaguman mereka ketika mendengar suara merdu dan juga wajah Azril yang sangat tampan. Sejauh ini mereka belum menemukan sosok lelaki yang tampan di kampung itu, dan ketampanan Azril mampu mengundang perhatian mereka.
Lemon mulai berbisik dan memberi kode pada Azril dengan lirikan matanya yang tertuju pada gadis-gadis desa itu. Terkhususnya pada sosok gadis yang memakai mukenah berwarna hitam. Dia menjadi primadona saat ini, karena di antara gadis-gadis lain yang ada di masjid, dialah yang paling menonjol dengan parasnya yang ayu.
Tidak tahan dengan bisikan Lemon yang selalu mengusik ketenangannya, Azril pun menoleh sekilas ke arah jama’ah. Tersenyum sekilas langsung membuat gadis-gadis itu terbang melayang dengan ekspektasi mereka. Mereka berebutan senyuman dan tatapan Azril, seakan senyuman dan tatapan Azril terkhusus milik pribadi. Sosok gadis bermukenah hitam pun ikut tersenyum seraya menundukkan kepalanya. Mencuri-curi pandang, tapi tidak membuat hati Azril getar. Jenis fuckboy ini mendadak menjadi setia setelah melabuhkan hati dan perasaannya pada Alya Zahra.
Lemon seketika tersenyum tebar pesona. Dengan serentak mereka berpaling muka dan terus menatap Azril.