Bidadari Tanpa Wali

Syifa sifana
Chapter #7

Rindu Berselimut Dosa

Sudah sekian lama tidak bisa saling komunikasi sungguh sangat menyesakkan kalbu. Hari demi hari dilewati dengan kerinduan. Hanya di atas sajadah ke dua insan ini mencurahkan rasa rindu yang ditanggung berharap sang Khaliq dapat menyampaikan rasa rindu di dada.

Meskipun sudah mengadu pada Sang Khaliq, tapi rasa rindu itu masih saja menggerogoti jiwa. Hari-hari terasa sangat sunyi, hilang gairah hidup.

Duduk sendirian dengan tatapan kosong, wajah murung jelas terlihat dari ekspresi Alya. Perlahan Nabila datang menemuinya dengan segala pertanyaan yang sudah menggunung dalam kepala.

“Alya, kenapa anti melamun?” tanya Nabila seraya duduk di depan Alya.

Alya tersenyum menggeleng kepala.

“Jangan memaksa untuk tersenyum kalau tidak bisa!”

“Ente kenapa sih?” Alya mencubit hidungnya geram. Ia ingin menutupi dari sahabatnya itu.

“Kenapa hidung ana yang jadi sasaran ente?” Nabila mengaduh mengusap hidung mancung ke dalam.

“Maaf.”

“Oh ya, kenapa belakangan ini ana lihat ente sangat murung? Apa yang ente pikirkan?” tanya Nabila. Sorotan mata serius berharap jawaban yang keluar dari bibir pink mungil itu adalah kejujuran.

“Tidak ada apa-apa.” Alya tersenyum lembut.

“Jangan bohong, katakan yang sejujurnya!” Nabila masih mendelik.

Alya mendengus, lalu menatap Nabila dengan serius. “Alya kepikiran sama Azril. Sudah lama kita tidak saling komunikasi sejak kejadian itu.” Alya jujur. Karena sejatinya dia bukanlah orang yang pandai berbohong.

“Kamu merindukan Azril?”

Alya menganggukkan kepala. “Biasanya seminggu sekali Azril mengirimkan kabar, tapi kali ini tidak sama sekali, bahkan ini sudah berbulan-bulan.” Alya menundukkan kepala.

Nabila terdiam sambil memikirkan cara untuk membantu sahabatnya itu. “Bagaimana kalau ente tulis surat saja? Besok ana ketemu sama kak Ibrahim, nanti ana sekalian ana titipkan suratmu untuk Azril.” Nabila memberikan solusi.

“Benarkah?” Mata Alya berbinar-binar, lantas Nabila tersenyum menganggukkan kepala.

“Terima kasih, Bila. Alya akan segera menulis surat untuk Azril.” Alya mengembangkan senyuman memeluk erat tubuh Nabila. Sejenak, lalu berlari menuju meja belajar.

Alya mengambil secarik kertas dan sebuah pena, dia mulai menorehkan segala kerinduannya di atas kertas putih. Senyuman kebahagiaan terus terukir di bibirnya seiring dengan goresan pena. Nabila pun ikut tersenyum kala melihat semangat Alya yang sudah kembali.

“Sepertinya anti sangat mencintai Azril.” Nabila menatap Alya yang sedang fokus menulis.

“Entahlah, Nabila. Alya belum pernah merasakan perasaan ini sebelumnya. Sebenarnya. Alya takut, Alya takut perasaan Alya salah, Alya akut dosa juga, tapi Alya sudah terlanjur basah dengan kerinduan pada Azril.” Alya mengeluarkan semua beban yang ditanggungnya.

“Terus bagaimana? Apa ente akan mengakhiri semua ini? Atau ente akan terus melanjutkannya?” Nabila kembali bertanya dengan keraguan yang dirasakan Alya.

“Alya ingin mengakhiri semuanya, tapi hati Alya tidak bisa. Alya sudah terlanjut menaruh hati pada dia.”

“Kalau itu yang anti pikirkan, anti harus bisa mengontrol diri. Jangan pernah anti melakukan zina! Usahakan mengingat Allah yang utama jangan sampai ibadah terganggu hanya karena hamba-Nya. Kita diciptakan di dunia untuk beribadah kepada Allah, seluruh diri kita dikhususkan untuk mengingat-Nya.” Nabila senantiasa mengingatkan Alya.

Alya tertegun. “Benar yang anti katakan itu benar. Ya Allah, astagfirullah … Alya sudah berdosa sekali, Nabila.” Alya merasa bersalah. Selama ini dia terlalu banyak mengingat Azril karena tidak saling komunikasi.

“Cepat anti selesaikan tulisannya!” Alya menganggukkan kepala, lalu kembali menulis.

*****

Di komplek santri, hal yang sama juga dirasakan Azril. Tubuhnya sudah terbaring dengan beralaskan tangan di kepalanya sebagai bantal, matanya menatap langit membayangkan Alya yang kini berada di komplek santriwati.

“Sepertinya ada yang lagi galau.” Lemon cengengesan kala melihat penderitaan yang dirasakan Azril.

“Gua lagi mikirin Zahra. Gua rindu sama dia.”

“Halalkan saja dia, jadi tidak perlu merindu pada hal yang haram,” sahut Kutu kupret mendekat.

Azril melongo, lalu memiringkan tubuhnya menatap ke dua temannya yang sedang duduk di atas ranjang.

“Lu bisa bantu gua nggak?” tanya Azril. Tatapannya fokus pada Kutu kupret.

“Ente mau ana bantuin apa?” Kutu kupret penasaran. Dari perasaannya dia sudah merasakan ini menyangkut dengan Alya.

“Lu titip surat gua sama Nabila, untuk Zahra.”

Kutu kupret terdiam. “Ayolah Kutu kupret, bantuin Azril. Kasihan dia sudah jadi gila semenjak pisah ranjang sama Alya,” bujuk Lemon. Ia kasihan melihat sahabatnya termenung sendirian karena menanggung Rindu.

Lihat selengkapnya