Jika hati tidak stabil, pikiran jadi kacau, kondisi tak terurus dan tindakan akan menjadi berantakan.
****
Setelah melewati semua pemikiran panjang, detik menuju menit, menit berganti jam, jam berjalan menuju hari, berganti dengan minggu dan tanpa terasa sudah berlalu begitu lama. Entah apa yang membuat Azril sama sekali tidak bertindak. Ia masih terpaku pada asumsi sendiri, menerka-nerka apa yang terlintas dalam pikirannya hal berbekal selembar surat. Jika biasanya ia langsung bertindak mendadak belakangan ini sering menunggukan pikirannya.
Melelahkan. Itulah satu kata yang terbesit dalam hati, merangkum apa yang sudah ia lewati belakangan ini. Hingga hari ini, batas kesabarannya sudah tidak lagi tertoleransi. Ia menguatkan diri, jika mental ia sudah jauh lebih siap, tapi saat ini ia yakin niatnya sudah mantap. Tidak mengurungkan waktu walau hanya semenit. Azril melangkahkan kakinya seorang diri tanpa ada Lemon ataupun Kutu kupret di sampingnya. Ia berjalan mengitari pesantren, menuju ke sebuah rumah permanen yang bersebelahan dengan pesantren.
Langkah itu mendadak terhenti saat gadis berkerudung biru terlihat di bibir pintu. Senyum merekah di bibirnya, ia tampak sedang berbicara dengan penghuni rumah yang terhalang oleh pintu.
“Zahra,” sapa Azril. Sang empunya tersentak lalu menoleh. Kakinya malah mundur satu langkah, begitu panik saat Azril memanggil namanya, sedangkan di dalam ada Ummi dan Kyai.
Azril mendekat sontak Alya menundukkan kepala lalu pergi tergopoh-gopoh. “Zahra, tunggu!” Sama sekali tidak berniat berhenti, Alya semakin mempercepat langkahnya dan Azril pun lari mengejarnya.
“Azril!” Langkah kaki Azril terhenti saat suara Kyai Hasan memanggil namanya. Bukan panggilan biasa, melainkan sebuah teguran agar ia tidak lagi mengejar Alya. Ia menatap punggung Alya yang semakin cepat menjauh dan menghilang dari pandangan matanya, setelah itu baru ia putuskan untuk berjalan mendekat sumber suara yang telah memanggil namanya.
“Kyai.” Azril meraih tangan Kyai Hasan lalu mencium tangannya.
“Ikut saya!” Kyai Hasan menepuk pundak Azril lalu berjalan ke belakang rumah, tepatnya di sebuah gazebo yang berada di atas kolam ikan. Azril pun mengekori dari belakang. Dari tindakan Azril saja Kyai Hasan sudah dapat menebak bahwa Azril sedang dilanda kegalauan.
Tidak ada siapapun kecuali Kyai Hasan dan Azril. Mereka saling bertatap muka. “Ada apa sebenarnya? Katakan sama saya!”
Azril mendengkus kecil lalu angkat bicara, “aku galau Kyai.” Sudut bibir pria berjenggot putih itu tertarik membentuk garis lurus. Sesuai dengan prediksinya. Tapi ia suka dengan anak muda di depannya yang menganggap dirinya sebagai teman dan mudah diajak untuk berbicara antar laki-laki.
“Kenapa anakku sampai galau seperti ini? Apa ada yang tidak puas dari penciptaan Allah?”
“Bukan, aku cukup puas dengan apa yang diciptakan Allah. Tapi aku galau karna Zahra menolakku.” Azril berterus terang dan semakin membuat Kyai Hasan bingung.
“Ini.” Azril memutuskan untuk menyerahkan selembar surat dari Alya pada Kyai Hasan. Dengan senang hati ia menerima dan membacanya.
Menit kemudian Kyai Hasan kembali tersenyum mengangguk-anggukkan kepala. Ia paham sudah apa yang ingin disampaikan Azril padanya.
“Dia menolakmu karena Allah. Takut pada Allah, lalu kenapa kamu harus galau?” Kyai Hasan menatap lewat wajah Azril yang semula ditekuk.
“Aku nggak sanggup kehilangan dia, Kyai. Aku cinta sama dia. Aku mau menikah dengan dia.”
“Dia usia yang sekarang?” Azril mengangguk mantap.
“Menikah itu tidak semudah yang kamu bayangkan–.”
“Tidak sesulit yang pikirkan,” potong Azril dengan cepat dan Kyai Hasan menatap pemuda darah masih panas ini. “Aku cinta sama Zahra, untuk soal uang aku akan berusaha mencari.” Ia begitu mantap mengutarakan padanya.