Bidadari Tanpa Wali

Syifa sifana
Chapter #9

Dibalik Perubahan Azril

Cinta tidak bisa dilarang dan tidak bisa dihentikan. Sebuah perasaan fitrah yang datang seiring dengan mengenal satu sama lain.

Percaya dengan cinta? Tentu, semua orang akan percaya, tapi tidak sedikit mereka tidak peka atau bahkan menepis perasaan itu sendiri. Tapi tidak dengan remaja yang sedang panas-panasnya dengan perasaan sendiri. Yang dulunya ingusan kini sudah bersih, dulu berantakan kini sudah menjadi lebih perfeksionis.

Cinta memang lucu dan unik, mampu mengubah karakter seseorang dalam sekejap. Dia lebih hebat dari dukun dan jin. Iya, benar sekali, terlihat dari remaja bermata lentik yang tengah senyum-senyum sendiri memperhatikan hatinya yang kini sudah seperti kebun bunga, bermekaran oleh harapannya sendiri. Apalagi setelah mendapat surat masing-masing. 

Alya tersenyum ketika membaca surat Azril yang berisi tentang “bersabarlah, aku akan datang kepadamu di waktu yang tepat.” Sementara Azril tersenyum penuh harap ketika Alya memberi jawaban, “Alya akan berusaha menjaga hati Alya sendiri. Tapi semuanya kembali pada Allah. Kita saling berdoa supaya kita segera diberi jalan.”

Tidak ada keresahan lagi, apalagi sekarang seluruh santri libur usai menerima rapor kenaikan kelas. Ada banyak waktu untuk Azril menuntaskan kerinduannya pada Alya. Apalagi jalan menuju ke rumah Alya sudah terekam dalam kepalanya, tidak butuh tanya pada orang apalagi google map. Ditambah dengan nomor telpon Alya tertera rapi di dalam ponselnya. Kali ini ia tidak membutuhkan jasa Kutu kupret untuk mengirim surat. 

Surga sebenarnya bagi santri ketika kaki mereka keluar dari pagar yang mengelilingi pondok pesantren.

“Abi bangga padamu, Nak.” Kalimat pujian yang bertahun-tahun tidak didengar oleh Azril kini mengusik telinganya. Bibir itu tersenyum miring memalingkan wajah ke arah jalanan yang ramai oleh kendaraan yang lalu lalang.

“Bangga kalau anaknya dapat nilai bagus, kalau nggak? Pasti dicemohin.”

“Azril!” Ummi memalingkan wajah ke belakang, menggeleng pelan sebagai isyarat agar tidak terlalu kasar dalam berbicara.

“Semua orangtua pasti menginginkan anaknya sukses. Sukses dalam pembentukan akhlakul Karimah, sukses dalam ibadah dan sukses dalam prestasi.” Abi Ali meluruskan. 

“Hmm, Bi, lulus dari pesantren, aku mau nikah.” Azril berterus terang sontak membuat kedua orangtuanya terkejut. 

“Apa maksudmu, Nak?” tanya Ummi Aminah mengernyit keningnya. 

“Aku mau nikah, Mi. Aku suka sama salah satu santri di pesantren.”

“Nak, tugas kamu sekarang hanya menuntut ilmu, bukan menikah. Untuk masalah menikah nanti dipikirkan setelah kamu benar-benar sudah siap.” Ummi Aminah tidak tahu harus memberi alasan apa agar anak semata wayangnya bisa tidak terlalu cepat memikirkan sebuah pernikahan. Harapannya pada Azril bisa sekolah sampai ke Timur Tengah, mengambil alih pondok pesantren yang dibangun suaminya lalu baru menikah dengan orang yang tepat.

“Kalau masalah kesiapan, aku sangat siap, Mi. Tapi aku mau setelah lulus dari pesantren sesuai dengan kesepakatan kami,” ucap Azri sangat mantap dengan apa yang dikatakannya.

“Apa? Kalian sudah ada kesepakatan?” Ummi Aminah tersentak, lantas Azril mengangguk mantap.

“Kyai juga setuju,” tambah Azril menguatkan argumennya. 

Ummi Aminah menghela napas beratnya seraya memijat kepala. Ia toleh ke arah Abi Ali sama sekali tidak berkutik, masih saja fokus menatap ke depan dengan kedua tangan memegang setir mobil.

“Abi!” tegur sang istri.

“Biarkan saja. Cuma main-main saja.” Respon Abi Ali sangat santai. Ia percaya anaknya menyukai seorang gadis di pesantren hanya sebagai motivasi untuk lebih betah dan lebih fokus dalam menuntut ilmu saja. Apalagi ia sudah melihat hasil yang diberikan Azril padanya. Sementara untuk dukungan dari Kyai, pasti tidak lain hanya sebagai penguat saja dan ia tidak terlalu menganggap serius permintaan anaknya. Bagaimanapun harapannya sama dengan sang istri. 

**** 

Kehidupan malam seorang anak geng motor sudah hidup kembali usai bebas dari pesantren. Jaket hitam, celana jean lengkap dengan sarung tangan, Azril berjalan dengan santai menuruni anak tangga.

“Mau ke mana, Azril?” 

Langkah kaki itu terhenti. Menoleh ke arah sumber suara lalu bibirnya malah cengengesan.

“Ketemu teman, Bi.”

“Selarut ini?” Tatapan datar menuju ke jam yang berada di dinding lalu pada anaknya. 

“Dunia anak muda, Bi. Malam.” Azril kembali berjalan melewati Abi Ali. 

“Masuk kamar, Abi larang kamu keluar!” titah Abi Ali sangat tegas.

“Ini bukan pesantren, Bi.” Azril melambai tangan lalu berlari sebelum Abinya melemparkan sendal ke atas kepalanya.

“AZRIL!”

Azril buru-buru memakai helm lalu menunggangi moto gedenya. Masa bodo jika pulang-pulang ia harus dirajam oleh Abi Ali. Yang terpenting saat ini adalah kesenangan. 

“Akhirnya sekian purnama lu datang juga, Bro!” 

Begitu motornya berhenti di basecamp yang sempat ia tinggalkan karena alasan mondok, ia sudah disambut hangat oleh teman-temannya. 

“Udah alim lu sekarang.” Roji datang menepuk pundak Azril yang sedang melepaskan helm.

“Masih kayak dulu.” Azril tersenyum sekilas melihat satu persatu wajah dari teman-temannya yang tidak pernah berubah. Namun ada sosok asing yang baru ia lihat malam ini.

“Gua Bara, anak baru.” Cowok berparas dingin dan memiliki sepasang mata yang tajam itu mengulurkan tangan. Azril menyambutnya dengan hangat.

“Gua Azril, ketua Star King.”

“Bro!” Aufa menyerahkan bungkusan rokok yang sudah terbuka memperlihatkan beberapa batang rokok yang masih berjejer di sana.

Lama Azril memandang lalu mengambil satu.

“Kalau nggak ngerokok lagi nggak usah dipaksa,” celetuk Midi menyeringai.

“Demi kalian, gua coba satu. Entah gua masih bisa.” Azril menaikkan sebelah alisnya. Memasukkan ujung rokok ke dalam mulutnya, menekan dengan kedua bibir lalu membakar putingnya. Hisapan pertama lalu menghembuskan asap dari mulut. Ia tampak sangat keren ketika sedang merokok.

“Masih bisa ‘kan?”

Empat cowok itu terkekeh mendengar candaan dari Azril. 

“Kita racing, yuk! Satu kali putaran. Sekalian nyambut anak baru plus ketua geng kita yang udah balik.” Roji paling bersemangat jika masalah balapan liar. Beradu dengan Azril yang sudah pasti tidak akan menang tidak membuatnya patah semangat.

“Nggak takut kalah?” Azril menatapnya. 

“Selama lu nggak ada, gua udah berhasil menang dua kali.” Roji bangga menepuk dadanya.

“Selebihnya kalah,” celetuk Midi menyeringai. 

“Hmm. Yuk, gua udah gatal banget lama nggak balapan.”

Jiwa race Azril kini meronta-ronta begitu berada di jalan bersama dengan ketiga teman lamanya dan tambah dengan satu teman baru. Suara deru yang berasal dari knalpot motor kini mengaung di jalan melintasi jalanan yang semula sepi lalu menyelip satu persatu kendaraan yang masih lalu lalang di jalan. 

Azril sangat bersemangat, tidak ada satupun dari mereka yang berhasil menyelipnya hingga tiba di garis finis Azril mengangkat kedua tangan, berdiri di atas motor saat motornya masih berjalan lalu kembali memegang kendali gas.

“Lu hebat banget, Bro.” Itu Bara. Ia berhasil menyusul Azril sampai di garis finish.

“Lu juga. Bisa ngalahin teman-teman gua.”

Azril turun dari motor dan menjauh. Jam di tangannya sudah menuju angka 2, jiwa tenangnya yang ada di pesantren muncul. Sementara Bara bingung dengan Azril yang tiba-tiba pergi dengan berjalan kaki sementara motor ditinggalkan dan anak-anak juga belum pada kembali. 

“Lu ke sini?” Bara menatap aneh Azril memasuki halaman masjid. 

“Qiyamul lail.” Bara menautkan keningnya. Meskipun KTPnya Islam, ia sama sekali tidak mendengar qiyamul lail.

“Shalat sunnah malam.” Azril melanjutkan. Ia paham dengan ekspresi wajah Bara.

Lihat selengkapnya