“Mau ke mana lagi?” tanya Abi Ali, dingin dan tegas.
Azril menghentikan langkahnya kemudian menoleh pada sang ayah. “Mau keluar.”
“Sudah seminggu kamu pergi malam pulang siang, kamu mau jadi apa?” hardik Abi Ali meninggikan suara.
Azril mengusap telinga beranjak pergi.
“AZRIL!”
Azril menghembuskan nafas kemudian menoleh lagi, “Bi, aku pergi. Teman-temanku udah nunggu dari tadi.”
“ABI TIDAK MENGIZINKAN KAMU PERGI!”
Azril melambaikan tangan sebagai tanda pamit. Ia cukup bosan mendengar larangan dari abinya.
“Azril, masuk!” titah Ummi Aminah.
Lagi dan lagi langkah kaki Azril harus terhenti. Ia membuang napas kasar dan menatap ke arah sang ibu yang sedang berdiri di depan pintu.
“Mi, aku mau keluar,” ucap Azril penuh penekanan.
“Masuk!” Ummi Aminah tidak kalah sengitnya. Ia mendapatkan kabar anaknya setiap malam melakukan balap liar bersama dengan teman-temannya yang urakan. Hati siapa yang tidak risau.
“MI!”
“Masuk!” Tanpa senyum ataupun bersikap lunak seperti biasanya, Ummi Aminah sangat tegas untuk kali ini.
“Nggak.”
“Masuk Azril!”
“Mi, selama ini aku ikuti keinginan Ummi masuk dalam pesantren berbulan-bulan bahkan ini mau jalan dua tahun. Sekarang aku cuma mau keluar, kumpul sama teman-temanku. Apa salahnya sih? Ribet bener.”
“Mereka bukan teman yang baik, Azril. Ummi sama Abi tidak ingin kamu menjadi manusia yang tidak benar.” Ummi memberi pemahaman dengan sedikit penekanan di akhir ucapannya.
Azril tertawa kecil. “Manusia nggak bener Ummi? Heh, Ummi bener. Manusia memang nggak ada yang bener, makanya berusaha menjadi bener.”
“Azril, kamu dikirim ke pesantren untuk mengubah sikapmu menjadi anak yang lebih berbakti pada orangtua, menjaga tutur katamu bukan menjadi manusia yang melawan. Dulu kamu tidak seperti ini, kamu sekarang berubah semenjak berkeliaran di luar sana,” ucap Abi. Perang mulut mulai sengit mengakibatkan telinga Azril memanas.
“Udahlah, malas denger kalian ribut terus. Aku pamit, assalamu’alaikum.”
“Nak, jika kamu membantah perintah orangtuamu, kamu akan celaka. Kembalilah! Ini sudah jam 11 malam,” teriak Ummi Aminah sama sekali tidak menghentikan niat Azril sedikitpun. Ia terus pergi menuju ke motor kuda yang terparkir di depan, memakai helm lalu memacu dalam kecepatan lambat hingga semakin lama semakin kencang tanpa mempedulikan seberapa keras teriakan dari orangtuanya.
Tiga puluh menit dari rumahnya, Azril menghentikan motornya di depan sebuah pangkalan tempat biasa mereka gunakan untuk berkumpul. Daerah sepi bisa digunakan untuk menenangkan diri dari suara orangtua yang penuh penekanan dan omelan mengenai kehidupan masa depan yang sama sekali tidak terlihat di depan mata. Bagi anak muda yang masih di bawah umur, mereka hanya butuh sedikit kebebasan untuk menghabiskan masa mudanya sebelum menghadapi jalan panjang yang nantinya akan membawa pada jalan sukses atau gagal.
“Bro, gua kira lu nggak bakalan datang.” Roji menghampiri Azril yang tengah membuka helm lalu menyugar rambut depan yang lebih tebal dan sisi kiri dan kanan sengaja dipotong tipis.
“Gua pasti datang. Suntuk gua di rumah terus. Lagian lu tau sendiri gua gimana? Mesti lewat pemeriksaan amal dulu,” kelakar Azril yang disambut tawa renyah oleh keempat laki-laki yang sudah menunggunya sedari tadi. Kadar humor mereka sangat receh apalagi jika itu menyangkut kedua orangtua Azril, sudah hafal diingatan bagaimana wajahnya.