Mata Azril masih tertutup rapat, terbaring di brankar dengan alat kardiografi yang terpasang belum menunjukkan kestabilan. Napas pun harus dibantu dengan tabung oksigen. Dari luar terlihat Alya, Malinda, Roji, Aufa, Midi dan Bara yang masih menunggu kabar dari dokter. Ribuan doa mereka panjatkan pada Sang Pencipta untuk Azril yang sedang berjuang kembali lagi ke dunia fana ini.
“Bagaimana kondisi anak saya, Dok?” Abi Ali dan Ummi Aminah baru saja tiba langsung menemui Dokter yang baru saja keluar dari ruangan.
“Teman kita gimana, Dok?” Roji, Midi, Aufa dan Bara kompak bertanya. Sedangkan Alya masih mengatup tangan di mulutnya menunggu kabar dari dokter. Bukan tak ingin bertanya, tapi bibirnya sangat sulit untuk bergerak, sedikit saja memaksakan diri untuk bertanya kondisi Azril, di situlah suaranya hilang dengan tangisan yang pecah lagi dan lagi.
“Terjadi benturan keras di kepalanya yang mengakibatkan gumpalan darah di kepalanya. Kita harus segera melakukan tindakan operasi,” jawab Dokter cukup serius. Ketiga wanita di sana sudah mengurut dada, kata operasi sudah membuat parno.
“Lakukan yang terbaik untuk anak saya, Dok.” Abi Ali menyerahkan semua pada ahlinya. Ia masih mengusap lengan sang istri yang masih berdiri dalam pelukannya. Jika terlepas mungkin saja Ummi Aminah akan ambruk.
“Saya mohon doa kalian.” Abi Ali menatap mereka semua yang diangguk lemah. Ia pergi untuk menandatangani surat persetujuan operasi.
Sudah berjam-jam mereka semua menunggu dokter keluar dari ruang operasi, memberikan kabar bahagia untuk di dengar.
“Dok!” Semua kompak berdiri mengerumuni dokter.
“Alhamdulillah operasinya berjalan lancar.” Semua sontak tersenyum lega mengucapkan kalimah hamdalah. Batu besar yang menghimpit dada sedari tadi hilang perlahan.
Mereka menyaksikan brankar Azril di dorong dari ruang operasi menuju ruang inap. Dari belakang mereka mengikuti dokter dan suster meskipun harus terhenti sejenak demi memberi ruang pada dokter dan suster untuk memasang alat bantu pada tubuh Azril.
“Kalian boleh masuk, tapi jangan bikin kerumunan! Kondisi pasien masih berada di bawah pengaruh obat bius.”
“Terima kasih, Dok.” Hanya itu yang bisa Abi Ali ucapkan. Ia menoleh ke arah Malinda, Alya dan teman-teman Azril, “kami masuk dulu, setelah itu baru kalian masuk ya.”
“Baik, Om.” Roji buru-buru setuju sedangkan yang lain mengangguk paham. Sudah menjadi peraturan dari dokter dan harus bersabar meskipun mereka ingin sekali melihat Azril di dalam sana.
Lagi dan lagi, tubuh wanita kepala tiga itu bergetar melihat kondisi anaknya yang terbujur di atas brankar. Air mata itu pecah seiring dengan langkah kaki yang lemas itu menuju ke arah anaknya.
“Azril,” lirihnya terisak.
“Ummi, jangan menangis seperti itu! Kasihan Azril.” Ummi Aminah mengangguk menahan tangis meskipun sangat sulit dilakukan. Rambut yang biasa menjadi mahkota yang sulit disentuh oleh siapapun kini malah hilang, ada selang yang terpasang di kepala gundul itu untuk mengeluarkan darah dari kepala, sela infus yang terpasang di tangan kanan dan juga darah yang menggantung masuk perlahan melalui selang menuju ke dalam urat Azril, tidak hanya itu, ia juga masih menggunakan tabung oksigen untuk bantuan pernapasannya.
“Maafkan Ummi, Nak. Tidak seharusnya Ummi mengucapkan kata buruk padamu.” Ummi Aminah menyesali telah mengucapkan kata celaka pada anak yang tidak mendengar perintahnya dan kini ia harus melihat hasil dari doa sang ibu yang tidak pernah ada hijab untuk anaknya.
Abi Ali mengusap punggung sang istri, memberi kehangatan agar segera bisa menenangkan diri dan pasrah pada kehendak takdir.
Tidak terlalu lama mereka berada di sana, meskipun sebenarnya mereka mau. Tapi masih ada Malinda, Alya dan teman-teman Azril yang ingin melihat kondisi Azril saat ini.
“Kamu masuk dulu! Ibu mau ke toilet dulu.” Alya mengangguk ragu untuk menemui Azril sendirian di dalam ruangan rawat itu. Ia ragu, akankah sanggup melihat wajah yang selalu mengulas senyum, ceria dengan rayuan maut itu tiba-tiba harus menutup matanya untuk waktu yang tidak ditentukan.
Menit itu juga langkah kaki Alya terhenti disambut dengan matanya yang kabur menahan cairan bening yang sudah jatuh berkali-kali.
“Azril,” lirihnya menutup mulut dengan tangan mungil nan putih itu. Masih mengenakan mukenah perlahan kakinya mendekat.
“Azril.” Ia terus memanggil. Suaranya lirih apalagi mendengar alat kardiografi yang terus membunyikan suara menakutkan di telinganya.
“Cepat sadar, Azril. Alya tidak sanggup kehilanganmu … Alya janji, kalau Azril sadar, Alya akan nurut apapun yang Azril katakan, Alya nggak akan egois. Azril ajak nikah sekarang, Alya mau, tapi tolong, sadarlah, Azril!”
****
Tidak pernah berpikir harus tidur di tempat yang dianggap terkutuk oleh Azril, secara ia harus tetap memasang infus meskipun tubuhnya sudah terbilang sehat. Ruangan yang tidak terlalu besar dari kamarnya terlihat sepi, biasanya ada orang yang lewat di luar. Azril dapat melihat dari jendela kaca.
Hening, tiba-tiba saja terdengar suara kretekan yang berasal dari pintu entah jendela. Azril sama sekali tidak bisa memastikan dengan jelas.
“Ummi … Abi …” panggil Azril sama sekali tidak terdengar suara. Ia ingin bangun untuk memastikan siapa orang yang sudah membuat bulu kuduknya merinding tapi sayangnya tidak ada kursi roda di sana.
“Siapa di luar?” Tidak ada balasan selain suara yang sama ikut terdengar.
“Anjir, siapa sih di luar, jangan bikin gua takut dong!” Azril menyapu ke segala arah.
“Hihihi …” Roji membuat suara kuntilanak dan sukses membuat bulu kuduk Azril berdiri.
“Anjir, siapa sih?” umpat Azril dalam hitungan ketiga …
“DOR!” teriak Roji, Midi, dan Aufa melompat dari jendela. Napas Azril sempat terhenti beberapa detik oleh ulah sahabatnya itu.
“Kalian ngapain lewat situ?” Azril menautkan alis, tangannya masih mengusap dada.