"Kamu pikir wanita tanpa dua keistimewaannya akan kunikahi kalau tidak terpaksa?"
Perih tak berdarah di hati Aida ketika menanyakan alasan sikap pria yang mengucapkan ijab kabul beberapa jam lalu berubah drastis bahkan mengingatkan dengan cacat fisiknya yang sebelum pernikahan sudah dijanjikan di hadapan ibu Aida tidak akan menjadi masalah.
"Aku juga tidak pernah berniat untuk mencintaimu. Jadi jangan bermimpi pernikahan ini akan selamanya," desisnya lagi sebelum tangannya menyodorkan beberapa lembar kertas.
"Tanda tangani ini dan kamu akan tetap dapat benefit dari pernikahan kita sesuai janji kakekku, Adiwijaya!"
Sebetulnya saat mendengar kalimat pertama, Aida Tazkia, ingin meminta suaminya menceraikannya saja demi harga dirinya.
Tapi mendengar kata benefit, gadis itu terngiang harapan dalam benaknya. Uang biaya pendidikan Lingga yang sudah diterima di Aero Flyer Institute, biaya masuk SMA dan SMP untuk Arum dan Lestari, adik-adiknya itu seakan terpampang nyata seperti spanduk besar dalam benak Aida.
Mereka semua butuh biaya dan dari mana Ratna, ibunya, bisa membiayai sedangkan harta keluarga sudah habis-habisan untuk berobat termasuk mengobati Aida dari penyakit kanker ganas yang harus membuatnya merelakan dua bagian kebanggaan wanita diangkat setahun lalu.
Penyakit itu memang menggerogoti beberapa anggota keluarganya. Kakaknya, Aisyah juga berpenyakit sama dengannya tiga tahun lalu. Sementara ayahnya, Laksono, lebih dulu terkena kanker paru-paru sejak lima tahun lalu.
Faktor genetik dan kebiasaan menjadi pemicu utama, sama seperti ibu dari Laksono dan adiknya yang juga meregang nyawa karena mutasi sel itu.
Nasib buruk pun tak jauh beda untuk Laksono dan Aisya. Setelah berjuang sampai semua harta habis dan hanya menyisakan rumah tinggal warisan dari orangtua Ratna saja, nyawa ayah dan kakaknya masih tak tertolong. Aida bernasib lebih baik, karena setelah kepergian kakaknya, penyakit itu ditemukan di tubuhnya dan Aida mendapat pertolongan lebih cepat meski dirinya juga harus mengorbankan bagian tubuhnya.
Kini keluarga Aida dalam kondisi ekonomi yang buruk.
Beruntung, Adiwijaya, kakek dari Reiko Byakta Adiwijaya yang sudah turun temurun selalu berlangganan membeli cengkeh pada perkebunan keluarga Laksono sebelum kebun warisan itu dijual punya sebuah rencana.
Adiwijaya sudah lama mengamati Aida berjuang bersama ibunya menjaga ayah, kakaknya, juga mengurus adik-adiknya. Pria paruh baya itu berempati dan mulai melihat sisi lain dari kesabarannya. Beliau ingin menjadikan Aida bagian keluarganya dan berjanji akan memenuhi semua kebutuhan keluarga Aida asalkan gadis itu mau dipersunting oleh cucunya, Reiko.
Adiwijaya memang sangat baik. Bahkan saat Aida yang insecure menolak karena kekurangannya, Adiwijaya meyakinkan semua baik-baik saja. Dia juga membawa Reiko beserta anaknya Endra, ayah Reiko dan istrinya Rika ke rumah Aida untuk meyakinkan kalau Aida memang diterima. Reiko saat itu tak banyak bicara, tapi dia terlihat setuju dan tak menunjukkan sikap seperti sekarang yang membuat Aida ingin mencincangnya.
Aida pun sempat takjub dibuatnya, karena pria setampan Reiko, bagaimana bisa bersedia mempersuntingnya setelah tahu cacatnya? Bukankah Reiko yang memiliki kesempurnaan fisik bak dewa Yunani itu bisa mendapatkan wanita yang lebih baik dari Aida?
Reiko terus terlihat semakin sempurna dan mengagumkan. Sampai pernikahan di hadapan penghulu berlangsung, semua semakin memukau meski itu pernikahan tertutup. Sikapnya melumerkan hati Aida bagai coklat yang dilelehkan. Reiko berhasil menciptakan khayalan indah dalam benak Aida yang membawa wanita itu pada angan-angan tinggi tentang rumah tangganya. Hingga Aida dibawa terpisah dari keluarganya dari rumah Adiwijaya ke rumah ayah Reiko, Endra. Disinilah semua tabir itu terkuak dan menghempaskannya ke bumi bak meteor jatuh dari langit.
"Apa yang kamu tunggu? Cepat tandatangani!"
Aida kembali disadarkan dengan suara bariton tegas yang membuatnya fokus pada surat perjanjian itu.
"Boleh aku membacanya dulu?"
Benar-benar manner-nya buruk banget! Apa susahnya memberikan kertasnya tanpa dilempar sih?
Aida mengomel dalam hatinya saat dia memunguti satu persatu lembar kertas yang dilemparkan Reiko. Pria itu seakan tak ingin menyentuh tangannya. Padahal saat ijab kabul, Reiko bahkan menempelkan bagian wajahnya di dahi Aida. Dia juga selalu menggenggam tangan Aida, membuatnya mudah bergerak dengan kebaya pas di tubuhnya.
Kini, semua berlawanan. Aida harus berusaha sendiri memungut lembaran itu. Agak sulit dirinya bergerak dengan kebaya yang masih melekat di tubuhnya.
Aida belum mengganti pakaian pengantin karena memang saat sampai di rumah keluarga Reiko, Endra Adiwijaya menunjukkan penolakannya pada Aida. Istrinya dan adik-adik Reiko juga tampak mencemoohnya sebelum Endra meminta Reiko menjelaskan kontrak perjanjian. Di kamar itulah Reiko membuat Aida makin jelas tentang statusnya berdasarkan poin perjanjian yang membuat kepala gadis itu berdenyut.
Tapi ini semua demi impian dan pendidikan adik-adikku, Aida mengingatkan dalam benaknya sebelum pena di tangannya bergerak menggoreskan tinta di kertas perjanjian.