Seni menuju akhir permainan: situasi hanya akan selalu bertambah sulit. Dan setiap langkah harus diperhitungkan, sendirian.
***
Bandung, 2012
Fase tingkat akhir hidup seorang mahasiswa adalah neraka. Darahku mendidih untuk segera menyelesaikan semua kekacauan ini. Kantong mataku semakin besar dan menghitam. Masihlah aku terlihat sebagai manusia, itu pun sudah untung.
Maria, sahabatku, akhir-akhir ini dia selalu berkomentar tentang penampakkanku yang menurutnya seperti pocong tapi berbalut kain kafan berwarna hitam yang kebesaran. Bajuku memang didominasi kaus oversized berwarna hitam. Mungkin ada warna merah marun satu helai, warna kuning mustard satu helai, warna putih dan abu beberapa, selebihnya baju-baju girly yang dibelikan oleh Mami dan belum pernah kupakai.
Maria seringkali memberiku vitamin dan cemilannya. Nampaklah aku ini bagai anak kurang gizi baginya. Kamarnya seperti minimarket, dia bahkan mempunyai rak sendiri untuk stok makanannya dan jumlahnya sangat tidak normal. Dia sertamerta membagikannya padaku dengan percuma. Supaya pocong berkafan hitam tak lagi kebesaran, katanya.
“Ada kasus yang rame lagi nggak, Nik? Tumben loe nggak cerita apa-apa.”
“Aduuuh… kepalaku pusiiiing! Jangankan buat cerita, sekarang aja aku pengen tidur, ngantuk banget! Laporan kamu gimana?”
“Ya gitulah, lagi revisi analisa. Loe tau kan Pak Rumi kritis banget masalah laporan. Masa ya, revisi gue tuh cuma soal titik koma, huruf besar kecilnya doang. Mana gue kan lemah banget sama kayak begituan! Hufft!” Maria kesal lalu berdiri dan berjalan mengambil sebuah mangga dan pisau.
“Itu masalah kritis lho Mar! Kayaknya kamu memang perlu ngulang Bahasa Indonesia deh.”
“Sial! Eh, Nik! Nanti malem gue diajakin Jojo makan keluar. Mau ikut nggak loe?”
“Nggak ah, aku pulang ke kos aja.”
Naik ke tingkat akhir, aku bertemu dengan Bu Maryam sebagai dosen pembimbing. Beliau juga bekerja sebagai psikolog. Belakangan ini aku pun baru tahu kalau beliau adalah seorang ahli psikolog forensik. Lewat Bu Maryam aku mendapatkan kesempatan PKL di sebuah pengadilan umum. Sebut saja pengadilan A.
Dua bulan kuhabiskan PKL di pengadilan dan sejak itu pula aku menjadi mudah cemas. Setiap malam, aspirinlah yang membantuku cepat tidur. Akhir-akhir ini bila kupejamkan mata, sering muncul mahkluk-mahkluk abstrak tak beraturan melayang-layang. Kadang mereka pendek gendut lalu perlahan berubah menjadi kurus dan tinggi, ada pula bentuk titik, zigzag, banyak lagi. Semua objek yang melayang itu dilatar-belakangi warna putih bersih yang sangat terang tanpa filter. Sungguh pening!
Sebelum tidur, pikiranku selalu tertuju pada sebuah kasus kriminal di persidangan beberapa hari belakangan ini. Kasus yang ku analisa ini, kasus seorang ibu yang memiliki anak perempuan berusia lima tahun. Dia sudah bercerai dan mempunyai pacar. Karena sesuatu hal, anaknya dititipkan kepada pacarnya. Lalu pacarnya membunuh anaknya. Alasannya, anak itu tantrum lalu pacarnya kesal dan membenturkan kepala si anak beberapa kali ke tembok. Sempat dilarikan ke rumah sakit, namun nyawanya tak tertolong. Dan ini cerita nyata, bukan sebuah dongeng.
Keluarga dan sahabat, sekumpulan orang yang seharusnya menjadi orang yang paling depan dalam melindungi, dalam realita kebanyakan mudah abai. Aku tak habis pikir. Pikiranku selalu error kala melihat kekerasan. Apapun alasannya, apapun pembelaannya, hanya mendengarkannya saja aku geram!
Mereka yang tidak pandai dalam menyayangi, ingin dibalas disayangi. Mereka yang tak mau mengerti, ingin dimengerti. Mereka yang ingin mengubah orang lain, tak tergerak mengubah dirinya sendiri. Bukankah sebuah cermin tidak bisa tersenyum dengan sendirinya?
Ah, entah kenapa dua bulan tinggal di dalam pengadilan membuatku merasa suci. Padahal aku tak lebih baik dari mereka. Tapi, untuk beberapa kasus, aku memang sering tak paham apa yang ada di dalam pikiran mereka. Mengapa kemarahan dapat membunuh? Mengapa?
“Aduh!” Maria yang sedang mengupas mangga melukai jarinya. Darah merah segar menetes.
“Kenapa Mar?”
“Keiris pisau.”
Kulihat kuku jari telunjuknya berubah menjadi berwarna merah. Aku memegangi kepalaku yang mulai pening.
“Kenapa loe Nik?”
“Biasa, tapi kok pusing banget ya? Biasanya nggak terlalu kayak begini.”
“Wah mulai lagi nih! Tiduran dulu gih di kasur gue. Gue yang berdarah, loe yang pusing.”
Aku pun berbaring di kasur Maria. Tak lama aku tertidur. Badanku selalu lemah saat melihat darah. Entah kenapa.
***
Beberapa jam kemudian, aku pulang ke kos, karena Maria akan segera dijemput oleh Jojo, pacarnya. Juga tentu akan lebih nyaman untukku beristirahat di kamarku sendiri.
Menuju jalan pulang yang juga masih tidak jauh dari kos Maria, aku hanya perlu menyeberang jalan besar, lalu memasuki gang yang jalannya menurun. Ketika itu ada seekor anak kucing mengeong-ngeong. Bulunya putih agak kotor, dan ada bulu berwarna kuning diantara telinganya. Seperti memakai bando.
Mungkinkah dia sedang mencoba mencari induknya? Atau dia lapar? Atau ingin ikut denganku? Atau sedang bermain petak umpet dengan temannya? Please, aku tak paham, aku bukan Nabi Sulaiman! Aku tak mengerti bahasa binatang. Ah… Kucing kecil, andai aku paham…
Tapi aku tidak begitu menghiraukannya dan terus saja berjalan. Pikiranku sedang tidak pada tempatnya. Sampai di kamar, saking peningnya, kulempar badanku ke atas kasur hingga terlelap.
***
Keesokan harinya, Aku dan Maria mengulang salah satu mata kuliah umum yang ada di semester satu. Kami sepakat untuk mengulangnya saat mendekati tugas akhir. Sebenarnya aku yang meyakinkan Maria untuk sedikit memicingkan mata pada mata kuliah ini dan dia gelap mata pada ajakanku.
Mata kuliahnya Kewarganegaraan. Tidak lucu memang. Bukan karena kami bodoh, alasannya empat puluh sembilan persen atas kepentingan tugas yang 'unlimited' dan lima puluh satu persennya lagi karena malas.
Konsekuensi dari sebuah keputusan tanpa pemikiran yang lebih panjang adalah sebuah penyesalan. Kalau saja aku memutuskan untuk mengulang di tingkat awal, pasti saat ini aku dapat berleha-leha berguling-guling di atas kasur. Tentu benarlah adanya, penyesalan selalu datang di akhir.
Tapi, sebenarnya aku tidak terlalu menyesal. Aku pikir selama nilaiku nanti di lembar IPK tertera huruf C, minimal, maka hidupku masih terjmin. Maka dari itu sampai sekarang ini bila aku masih dapat membolos, aku akan membolos. Begitu pula dengan Maria.
Dosen mata kuliah ini sangat membosankan. Aku dan Maria sering duduk di zona nyaman: bangku paling belakang. Namun meskipun begitu, dosenku ini punya sisi menarik.
Tiba-tiba Maria menyerahkan buku tulisnya padaku:
Nik, tebak-tebakanya ditulis aja ya. Menurut loe, kira-kira, Bu Jess hari ini pake baju warna apa?
Kuceritakan dahulu tentang Bu Jess, dosen mata kuliah yang membosankan ini. Hobi Bu Jess adalah mencocokkan pakaiannya dari atas sampai ke bawah. Bila bajunya hijau, maka satu set pakaiannya seratus persen akan berwarna hijau dengan tone yang persis sama, berikut pula dengan sepatu dan tas-nya. Semuanya senada. Adakalanya warnanya terlalu mencolok sehingga hampir semua mahasiswa akan berbisik satu sama lain sambil terkekeh-kekeh. Termasuk kami berdua.
Apa ya? Minggu kemarin kan kuning ya? Hmmm… Biru gelap gitu deh kayaknya. Kan biasanya minggu sekarang sama minggu depan tuh kontras bedanya. Kamu apa?
Kuberikan lagi buku itu pada Maria.
Apa ya? Hmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm... bentar, aku pikir dulu…
Maria menyerahkan bukunya lagi padaku.