Seperti bidak catur yang terpilih menjadi raja atau kuda, sejak awal seorang manusia tidak bisa memilih untuk terlahir lahir dari rahim siapa.
***
Kebahagiaan, semua orang ingin memilikinya. Termasuk aku. Aku ingin bahagia. Tapi aku tak paham. Maria bilang, bahagia itu bukan dicari tapi diciptakan (dimana aku yakin dia mendapatkan semua itu dari internet kala menyusun laporan). Aku tak mengerti. Mana mungkin aku bisa bahagia kala aku merasa tidak bahagia? Bagaimana menciptakan kebahagiaan di dalam kehidupan yang tidak bahagia? Bagaimana caranya?
Aku membawa mobil menuju perjalanan pulang ke rumah. Ada beberapa barang yang kuperlukan untuk dibawa ke kos. Meskipun masih dalam satu kota, jarak dari kos ke rumah Papi dan Mami sangatlah jauh.
Malam, jam sembilan lebih aku sampai. Kang Dani membukakan gerbang.
“Neng Niki, kamana wae atuh? Udah lama nggak pulang.” Neng Niki, kemana aja?
“Iya nih, hehehe.” jawabku sambil berjalan masuk ke dalam rumah.
“Assalamu’alaikum...”
Tak lama datang Bi Kokom berlari-lari kecil ke arahku, “Wa’alaikumsalam, aduuh, Neng Niki kemana ajaa...”
“Banyak tugas Bii..”
“Sini Bibi bawain. Bawa apa ini?” Bibi membantuku menenteng sebuah plastik dan sebuah tas kosong.
“Cemilan. Papi Mami ada di rumah?”
“Ibu belum pulang, Bapak lagi di kamar.”
“Oh, ok! Aku ke kamar ya…”
“Udah makan belum, Neng?”
“Udah.”
“Mau dibawain apa nggak ke kamar?”
“Nggak usah Bi. Udah bawa cemilan kok ini, mau nggak?”
“Ya atuh buat Neng aja itu mah…”
Aku, bak seekor burung di dalam sangkar emas. Seperti berada di dalam penjara yang memiliki semua fasilitas. Namun sangkar emas tetaplah sangkar. Penjara mewah tetaplah penjara. Aku tidak punya kebebasan. Apa yang kukatakan dan apa yang kulakukan kapasitasnya sangat terbatas. Setiap kata dan sikap yang dianggap melewati aturan adalah pelanggaran. Dan setiap pelanggaran memiliki sanksi. Meski aturan itu tak tertulis dan tak pernah ada diskusi tentang mengapa aturan itu harus dipatuhi, seorang anak tetaplah anak yang tak memiliki kekuasaan barang sedikitpun. Semua ini bermula karena rumah ini dipimpin oleh seorang pemimpin bergaya otoriter yang tak pernah menerima opini siapapun.
Tak lama, terdengar suara gerbang dibuka dan sebuah kendaraan masuk. Mami pulang.
“Niiik, udah pulang?” Mami memanggil dari lantai bawah.
Aku keluar kamar dan melihat Mami dari void lantai dua.
“Iya Mi.”
“Udah makan belum?” kepala Mami sedikit mendongak ke atas untuk melihatku.
“Udah.”
“Kamu kok nggak bilang mau pulang, tau gitu kan Mami beliin makanan.”
“Udah makan kok. Aku tidur ya.”
Beberapa menit kemudian Bibi mengetuk pintu.
“Neng, masih bangun?”
“Kenapa Bi?”
“Neng, ini kata Ibu minum teh manis anget dulu.”
“Buka aja Bii, nggak dikunci.”
Bibi masuk membawakanku secangkir teh manis, beberapa toples kue kering juga buah-buahan.
“Banyak banget, orang udah mau tidur juga.”
“Buat nyemil-nyemil aja Neng, kan bisa juga buat besok.”
“Yaudah makasih ya Bi.”
“Kalo perlu apa-apa ketok kamar Bibi aja ya.” Bibi mengusap-usap rambutku lembut.
“Sip!” kuberikan dua jempol dan kulempar senyumku padanya.
Aku minum teh manis hangat buatan Bibi. Lalu segera naik ke atas kasur. Badanku lelah dan pegal. Kepalaku sakit. Tapi teh hangat itu membantu badanku lebih santai.
Hujan rintik terdengar lemah turun mengetuk atap rumah. Air hujan yang menciumi tanah selalu mengeluarkan aroma bau yang aku suka. Bunyinya menenangkan menina-bobokanku. Angin bertiup agak kencang masuk ke dalam kamar melewati celah-celah lubang bangunan. Dengan mata yang masih terpejam, aku tarik selimut sampai ke dekat dagu. Mahkluk-mahkluk abstrak kembali bermunculan. Dengan mata yang masih tertutup, aku coba tidak memedulikannya dan fokus menikmati suara hujan.
Hujan semakin besar ditemani gemuruh yang sesekali terdengar sedang marah. Dulu aku selalu takut mendengarnya. Bila kulihat dari jendela ada hujan deras disertai angin kencang juga ditambah gemuruh yang suaranya menggelegar, aku selalu berpikir bahwa saat itu juga rumah yang aku tinggali akan runtuh. Hujan yang seperti itu selalu membuatku cemas. Tapi kini tidak lagi. Justru semakin lama tidurku semakin pulas.
***
BRAK! BRAKK! BRAKKK!!!
Dari tidur lelap, tengah malam aku terbangun. Sesuatu dilempar dengan keras dari lantai bawah. Tak lama terdengar dua orang berselisih. Mendengar Papi dan Mami seperti itu bukan lagi sebuah pemandangan yang aneh. Yang tidak berubah dari diriku saat mendengarnya hanyalah, rasa sedih yang tak bisa kujelaskan.
Aku teringat Naka. Biasanya bila Papi dan Mami berkelahi, aku akan pergi ke kamar Naka. Setelah situasi mulai tenang, diam-diam aku menyelinap ke kamar Naka yang berada tepat disebelahku. Kamar kosong tak berpenghuni ini mungkin sudah ditinggali jin yang telah beranak-pinak.
Aku peluk bantal guling di kasur Naka. Sepertinya masih Bibi bersihkan setiap hari, tak ada debu yang menggelitik hidungku.
Kak, aku kangeen banget. Dulu, waktu kita masih satu kamar, kalau Papa dan Mama berantem, Kakak selalu tidur bareng aku. Kak, besok aku kesana ya…
***
Pagi tiba. Aku dibangunkan Bibi.
“Neng kenapa tidur disini? Bibi kaget! Dicariin di kamar nggak ada.”
“Jam berapa Bi?”
“Jam enam Neng.”
“Tadi malem kebangun. Terus tiba-tiba pengen tidur disini.” kataku masih setengah sadar.