Bidak Catur

Bimasakti
Chapter #4

4

Di atas papan catur, seorang ratu bergerak bebas kemanapun dia ingin pergi. Lurus, serong, mundur satu langkah atau maju sepuluh langkah. Gerakannya paling luwes sehingga karakternya dianggap begitu penting. Karena jika ratu mati, maka terancamlah semua nyawa, termasuk raja.

      ***

Mami bercerita padaku apa yang terjadi dari sebelum aku belum lahir, ini adalah cerita versi Mami:

Bandung, 1991

Mami mengandungku di bulan Februari. Dan Naka sedang menuju usianya yang ketiga. Pernikahan sejak hari pertama tidak pernah mudah.

Pekerjaan Papi membuatnya sering bepergian keluar kota. Mami ditinggal sendiri, tanpa teman. Mami harus mengurus seorang anak balita yang terkadang masih ingin digendong. Ditambah janin muda yang masih membuat Mami mual dan pusing.

 Kemudian ada seorang tetangga di belakang rumah yang menjadi teman Mami. Dia juga mau membantu dan mengajari Mami yang masih amatir dalam mengurus rumah tangga, seorang perempuan paruh baya bernama Bu Eka. Mengajari memasak dan mengurus anak.

Bila Papi pergi, Bu Eka akan berlama-lama diam di rumah. Mami dan Bu Eka selalu saling bercerita tentang kehidupan pernikahan mereka masing-masing. Mami pikir pernikahannya adalah kasus terburuk, rupa-rupanya pernikahan Bu Eka lebih mengerikan.

 Bila suami Bu Eka marah padanya, dia akan dikejar-kejar oleh sebuah parang dan dia akan berlari ke rumah Mami sebagai tempat bersembunyi.

Semarah-marahnya Papi, Papi tidak pernah menggunakan kekerasan fisik kepada Mami. Dan Mami bersyukur sekali untuk hal itu.

                                                   ***

Suatu waktu Papi keluar kota selama empat hari, Mami kewalahan. Kadang Naka sulit tidur di malam hari karena masih ingin bermain. Pada akhirnya, tengah malam pecahlah tangisan Naka. Dan di saat-saat seperti itu, satu malam rasanya seperti satu tahun.

Mami merasa badannya sangat lelah dan pikirannya semakin tak waras. Sempat ingin menyerah. Sempat ingin gila. Sempat ingin mati. Tapi Mami selalu dapat bertahan.

Sebelum Papi pulang, tak ada badai, tak ada petir, salah satu rekan kerja Papi yang mengenal Mami mengatakan dia melihat Papi pergi dengan seorang perempuan, berduaan.

Tentu saja Mami percaya. Karena Mami selalu merasa Papi tak menyayanginya. Juga karena tingkah laku Papi yang selalu mencurigakan.

Kemudian tanpa sepengetahuan Papi, Mami pun pergi dari rumah. Kabur. Membawa Naka, juga membawa beberapa tas berisi perlengkapan-perlengkapan. Saat itu Papi dan Mami belum mempunyai kendaraan pribadi.

Seorang diri membawa Naka yang masih batita, Mami nekat pergi ke Yogyakarta, tempat orang tua Mami tinggal. Menaiki bis. Di dalam terminal Mami ditarik-tarik oleh beberapa orang calo bis tak bermoral yang memaksa Mami naik ke atas bis mereka. Naka menangis ketakutan tak tahu apa yang sedang terjadi. Di dalam bis Mami muntah-muntah.

Bagi Mami, semuanya sudah berakhir. Tak ada lagi secercah harapan untuk mempertahankan pernikahannya.

Pastilah Papi kalang kabut mengetahui Mami dan Naka tak berada di rumah. Setelah beberapa hari mencari, salah satu anggota keluarga Mami yang dekat dengan Papi, membocorkan bahwa Mami pulang ke rumah orang tuanya.

Segeralah Papi bergegas. Sesampainya di Yogyakarta, Mami tidak menerima Papi. Mami tidak mau bertemu. Lantas dengan orang tua Mami-lah Papi berbicara.

Lihat selengkapnya