Tentang melakukan kesalahan, kadangkala, kita perlu melakukannya, atau juga belajar lewat kesalahan orang lain dalam rangka mengerti jalan permainan.
***
Aku pergi melihat Naka. Di sebelah ruangan Naka, ada seorang pasien baru, dia masih bersama dengan keluarganya. Mereka mengajakku mengobrol, bercerita awal mula kenapa Abdul, pasien baru, mulai bertingkah tidak normal. Seorang bujangan berusia empat puluh tahun.
Setelah berpamitan, aku beranjak ke ruangan Naka.
“Kakak! Apa kabar?”
Naka tidak menjawab, dia sedang serius membaca Detective Conan.
“Kak!?” tanyaku lagi setengah berteriak.
“Hmm!?” ia tak peduli.
“Ih, orang ditanya juga dari tadi. Kakak, apa kabarnya?”
“Oooh, baik.”
“Nama Kakak siapa?”
“Nggak tau.”
“Kalau aku, masih inget nggak aku siapa?” pertanyaan yang selalu kutanyakan setiap kali aku mengunjunginya.
“Kamu? Siapa?”
“Aku Niki. Aku adik kakak.”
“Niki…”
“Nama kakak Naka.”
Dia mengangguk.
“Kakak tadi makan sama apa?”
“Sama… ayam goreng.”
“Enak nggak?”
Dia mengacungkan jempolnya padaku. Lalu kembali membaca.
“Kak! Lihat nih aku bawa apa?”
“Bawa apa?” dia agak penasaran.
“Nih lihat ya, coba tutup matanya dulu!”
Naka menutup matanya dengan cepat.
“Tadaaaa…!”
“Waaaah!” tapi dengan cepat matanya kembali membaca.
“Inget nggak? Dulu kan kakak sering main uno sama aku…”
“Nggak.”
“Dulu kita sering banget main uno lho, main dirumah, bareng Kang Dani, Bi Kokom, Teh Nani, Teh Ima, inget nggak sama mereka?”
“Nggak.” jawabnya lagi pendek. Tak tertarik sama sekali.
Aku kehabisan akal. Setiap aku akan menjenguk Naka, aku menghabiskan waktu semalaman suntuk mencari ide demi mengembalikan ingatan Naka. Meski belum menunjukkan hasil apa-apa, aku tak pernah patah semangat.
“Kak, aku ke kantin dulu ya, Kakak mau ikut?”
“Nggak…”
“Aku mau beli cemilan, mau nitip nggak?”
“Mau."
“Mau apa?”
“Mau minum.”
“Minum apa?”
“Air putih.”
“Yee, kalo air putih kan udah ada di meja.”
“Oooh, udah ada ya.”
“Jadinya mau apa dong?”
Naka fokus membaca. Aku menunggu jawaban darinya, tapi dia tetap membaca.
“Yaudah aku tinggal sebentar ya.”
Saat aku berjalan ke kantin rumah sakit, ada seseorang dari belakang mengikutiku.
“Eh, Pak Abdul, mau kemana?”
“Mau ikut.”
“Ikut siapa?”
“Ikut kamu.”
“Oooh, aku mau ke kantin.”
“Iya, saya mau ikut.”
“Jangan Pak…”
Tak lama ada suster yang melihat dan mengajak Pak Abdul kembali ke kamarnya. Namun Pak Abdul menolak. Pada akhirnya aku ke kantin ditemani Pak Abdul bersama seorang suster.
Baru-baru ini ada seorang pasien yang populer, seorang nenek-nenek. Giginya tinggal satu di bagian depan atas. Lena, begitu para suster memanggilnya. Ia tadinya adalah seorang pebisnis sukses yang terlahir dari keluarga kayaraya. Nama aslinya Selena. Bukan, bukan artis.
Suster Sari, yang mengurus Naka, bergosip denganku tentang Lena. Lena adalah seorang janda yang ditinggal suaminya demi perempuan lain. Suaminya juga membawa sebagian besar hartanya.
Kali ini, kulihat dia sedang berada di kantin. “Hei…!” Lena melambaikan tangannya padaku. Dia sedang minum seorang diri.
Aku membalas lambaian tangannya.
Aku mengambil satu botol decaf dan sebungkus roti. Pak Abdul kemudian berjalan lalu berdiri tepat di depanku, matanya seperti berbicara mengharapkan sesuatu.