Bidak Catur

Bimasakti
Chapter #6

6

Apabila kita bermain tanpa berusaha memahami caranya, maka kita tidak akan pernah siap pada setiap skenario. Apalagi kepada skenario yang tak terduga.

   ***

Laporan PKL telah selesai. Ada rasa lega barang sebentar. Waktunya beranjak ke level neraka yang lebih tinggi: skripsi.

Bu Maryam memintaku magang menjadi asistennya. Bila seseorang bertanya, apa pekerjanmu? maka jawabku adalah, asisten psikolog forensik. Meskipun masih magang dan menjadi seorang asisten, entah kenapa aku sunguh bahagia dan bangga. Menyebut pekerjaan ini saja terdengar layaknya seperti orang yang sangat profesional, bukan? Selama ini aku tidak pernah merasa kehadiranku di dunia begitu penting. Saat Bu Maryam memintaku magang, ada rasa percaya diri yang sedikit-sedikit membuncah, tumbuh dari dalam diriku.

Di hari pertama PKL hingga saat ini, dimana biasanya aku hanya menyelesaikan contoh-contoh kasus dari lembaran kertas, kini aku langsung dihadapkan pada kasus nyata. Aku sedikit tertantang juga sedikit terintimidasi, aku takut analisaku tak terpakai. Rasanya hati dan pikiranku begitu penuh. Aku heboh juga gelisah. Aku senang tapi juga gugup. Rasanya aku ingin berubah menjadi seekor kangguru supaya bisa melompat-lompat kesana kemari membuang energi-energi negatif.

Pertama kalinya bagi perempuan tak percaya diri sepertiku ini bekerja sebagai seseorang yang dianggap profesional di bidangnya. Rasanya masih belum bisa percaya pada apa yang sedang terjadi.

Bu Maryam sedang melakukan interogasi pada sebuah kasus baru. Sebelum Bu Maryam pergi, beliau menjelaskan sedikit padaku tentang kasus ini: Sebutlah seseorang bernama C. C melaporkan istri dan kedua anaknya menghilang sepulang dia kerja. Sebelumnya, C sudah di interogasi oleh seorang detektif. Dan hari ini akan kembali di interogasi oleh detektif plus Bu Maryam, karena dari hasil interogasi kemarin, ada kemungkinan istri dan anaknya dibunuh oleh C. 

Selesai interogasi yang kurang lebih memakan waktu dua jam, Bu Maryam kembali. Tampak olehku beliau agak lelah. Olehnya aku diminta print laporan interview interogasi tersebut di ruangan yang berbeda, agak jauh dari ruangan ini berada.

Selesai print, saat keluar ruangan, seperti di film-film, tak sengaja aku bertabrakan dengan seorang laki-laki hingga kertas-kertas yang sudah ku print tadi berterbangan kesana kemari tak tentu arahnya. Tidak, tidak ada adegan slow motion.

“Maaf-maaf.” aku dan dia bersamaan mengucapkan maaf.

Aku ambil satu-satu kertas laporan yang berserakan itu. Dia turut membantu.

“Maaf ya…” katanya sambil menyerahkan kertas yang berserakan tadi.

“Iya, maaf juga. Makasih…”

Dia menatapku sebentar. Aku langsung melanjutkan berjalan menuju ruangan Bu Maryam.

“Sudah terpikir buat skripsi, Nik?” nampak beliau sudah kembali seratus persen menjadi dirinya.

“Udah Bu, cuma belum fix, masih cari kasus-kasusnya.”

“Tentang apa?”

“Tentang keadaan psikologi manusia yang memiliki gangguan mental.”

“Bagus tuh.”

“Iya bu, mudah-mudahan aja. Lagi cari-cari dulu contoh kasusnya.”

“Kan udah ada banyak. Yang kasus kemarin-kemarin itu, bisa masuk. Nanti ngobrol dengan suami saya, dia hakim di pengadilan ini. Nanti saya bantu untuk kasus-kasusnya”

“Wah? Bener Bu? Makasih banyak Bu...”

“Sejauh ini analisa-analisa kamu bagus, saya sangat terbantu. Kalau kinerja kamu konsisten kayak gitu, kamu nggak usah magang lagi, jadi asisten beneran saya aja.”

“Bener nih Bu?” hatiku melompat-lompat, rasanya aku ingin benar-benar berubah menjadi seekor kangguru.

“Ya masa bohongan. Siang ini saya makan siang dengan suami. Ayo ikut gabung aja ya..!”

Tentu aku tidak bisa menolak kesempatan emas ini. Ingat kata Eminem, “If you had one shot or one opportunity to seize everything you ever wanted in one moment, would you capture it or just let it slip?”

Aku diundang makan siang di sebuah ruangan VIP. Kuketuk pintu dan kuucapkan salam. Saking gugupnya tiba-tiba perutku rasanya sakit tak karuan. Di dalamnya sudah terdapat Bu Maryam beserta suaminya yang katanya seorang hakim, dan beliau terkenal sebagai hakim senior yang bijaksana.

“Ayo masuk Niki!”

“Ini lho Yang, yang sering kuceritakan, asistenku yang cantik dan pintar…”

Dari pintu aku hanya bisa tersipu oleh pujian Bu Maryam. Pujian pertama di dalam hidupku yang terdengar tulus. Hatiku berbunga mawar, bunga melati, bunga anggrek, bunga kenanga, bunga sepatu, bunga lily, bunga… lanjutkanlah sendiri…

“Ooo, silahkan-silahkan. Duduk-duduk. Nama saya Ahmad.” kata beliau sangat ramah dengan senyum yang tidak pernah tinggal dari bibirnya sejak aku masuk.

“Kenalkan Pak, saya Niki.” aku mencoba sesantun mungkin.

“Panggil Om saja ya.” candanya sambil menjabat jabatan tanganku.

“Om-Om apaan, ompong kali. Panggil Eyang aja, Niki. Wong udah punya enam orang cucu…” Bu Maryam menimpali guyonan suaminya.

Eyang Ahmad tersenyum dan mengangguk-angguk.

“Makanannya belum datang nih, Niki. Anakku lagi beli keluar dari pengadilan sini. Tunggu sebentar ya…”

“Iya Ibu, nggak apa-apa.”

“Assalamu’alaikum.” seseorang masuk.

What? Dia lelaki yang bertabrakan denganku tadi!

“Wa’alaikum salam… Fikri, kenalkan ini asisten Bunda. Dia mau skripsi, jadi Bunda undang buat makan sambil ngobrol-ngobrol.”

Dia melihatku dan memberikan tangannya.

“Halo… Fikri…” suaranya serak dan berat seperti vokalis band metal.

“Iya, saya Niki.” kataku agak kaku juga dengan menjabat tangannya.

Bu Maryam estafet kotak-kotak makan siang yang dibelikan Fikri. Pertama kepada suaminya, ke cucu lelakinya, kepadaku, lalu untuknya sendiri.

“Kita berdoa dulu ya, coba sekarang Fikri yang pimpin.”

“Eyang ajalah.” dia menolaknya dengan tone yang sangat halus. Aku cukup terkesima.

Lihat selengkapnya