Bidak Catur

Bimasakti
Chapter #8

8

Seperti catur, hidup juga permainan. Permainan dalam membuat keputusan. Keputusan benar-salah dan menang-kalah.

   ***

Sabtu pagi yang cerah. Sejak terbitnya matahari, tak ada satupun awan yang menutupi langit. Kalaupun ada, mereka berbentuk kapas tipis yang mudah tertiup angin sehingga mudah pula berpindah-pindah pergi lalu perlahan memudar.

Aku sarapan bubur ayam di tempat biasa bersama Maria di dekat kampus. Ditemani segelas panas americano-americano-an yang kubeli di mini market. Sementara Maria membeli dua kotak susu anak-anak rasa coklat dan stroberi, satu botol teh kemasan, satu botol air mineral ukuran mini, satu bungkus roti meses, dan satu bungkus rumput laut. Aku sedikit lega melihatnya, meski dalam keadaan berduka, Maria tidak berubah, masih bisa tinggal dua puluh menit di dalam mini market. Aku bersyukur tragedi Jojo tidak berdampak pada dunia jajan-nya.

Tapi, tidak saat sarapan. Maria tidak nampak memiliki niat untuk menghabiskannya. Dia menyendokkan buburnya ke atas tinggi-tinggi, menjatuhkannya lagi ke dalam mangkok, menyendokkan buburnya lagi, menajatuhkannya lagi. Begitu seterusnya.

Lalu screen hp-ku menyala dan terdapat nama Papi tertulis di bagian atas.

Tumben…

“Assalamu’alaikum.” suara yang jarang kudengar itu tetap sama.

“Wa’alaikumsalam.” jawabku cepat.

“Lagi ngapain?”

“Lagi sarapan.”

“Oh, sarapan apa?”

“Bubur ayam, ini lagi sama Maria.”

“Oh, nanti Papi sama Mami ke kos kamu ya.”

“Hmm? Kapan?”

“Hari ini tapi belum tau jam berapa, malem kayaknya.”

“Aku magang sampai sore.” aku berbohong.

“Ok nggak apa-apa.”

Hening.

Dan hening lagi.

“Yaudah ya, Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikum salam.”

Setelah kututup telpon, kulihat Maria masih mengulangi hal yang sama.

“Heh!” aku tepuk meja.

“Apa sih?!” teriaknya.

“Habisin cepet buburnya!”

“Udah ah, kenyang!”

“Ih dasar!”

“Udah ah, balik yuk!”

“Eh Mar! Tadi malem aku cek film! Twilight part dua udah keluar!”

“Oya?”

“Nonton yuk!”

“Tapi males ah!”

“Terus mau ngapain dong kita?”

   ***

Setelah memaksa Maria berabad-abad lamanya, akhirnya dia menyerah juga. Aku tak punya ide lain lagi tentang kegiatan yang akan mengalihkan Maria pada apa yang sedang dipikirkannya. Nonton adalah satu-satunya ide yang terpikirkan olehku.

“Tapi aku males pake mobil ah!” kata Maria.

“Terus?”

“Pengen pake motor.”

"Pake motor siapa?”

“Tar coba aku tanya temen kosku di sebelah.”

Akhirnya aku dan Maria berangkat menuju bioskop sesuai dengan keinginannya menggunakan motor teman kos-nya. Aku diboncengnya. Apapun, demi Maria.

Sesampainya di bioskop, aku langsung ikut antrean karena lobby bioskop membludak. Rasanya seperti berada di dalam Pasar Baru saat lebaran. Sementara Maria membeli cemilan, tak jauh dari tempatku mengantre. Selesai ‘belanja’, Maria kembali bersamaku. Kulihat kedua tangannya penuh dengan segala jenis macam makanan.

“Buset Mar! Beli apa aja sih?”

“Loe mau popcorn rasa apa?”

“Mana aja.”

“Yaudah yang original aja ya, nih ambil.”

“Eh, mau yang caramel ding!” aku cengengesan.

“Iiih, gimana sih! Yaudah ambil aja sendiri, susah nih!”

Belum masuk teater, pipi-pipi kami berdua sudah gemuk mengunyah. Untung saja aku bersama Maria, karena bahan makanan akan selalu di refill olehnya.

“Rame banget nih Mar, jangan sampai kita dapet seat paling depan.”

“Bentar Nik! Pegangin…” Maria dengan agak tergesa-gesa menyerahkan semua makanan dan minumannya kepadaku. Kecuali satu minuman bersoda.

Kulihat dia kembali berjalan menuju tempat membeli popcorn tadi.

Maria menepuk bahu seseorang. Orang itu berbalik, Maria diam sebentar untuk mengadakan kontak mata dengannya lalu dalam hitungan detik Maria menumpahkan semua isi minuman yang dipegangnya ke wajah orang itu.

Byaarrrr!!!

Ya, tentu saja, siapa lagi… Jojo. Wajah Jojo terkaget-kaget bercampur panik. Begitupun denganku, begitupun dengan teman wanita di samping Jojo, begitu pula dengan mba-mba yang menjual tiket, begitu pula dengan semua yang sedang mengantre, begitu pula dengan petugas yang sedang mengepel lantai, begitu pula dengan seisi orang yang melihat di dalam lobby bioskop. Mereka kemudian saling berbisik.

Maria berjalan ke arahku dengan wajah yang teramat merah. Terlihat satu-persatu air matanya jatuh.

“Ayo balik!” Maria menarikku keluar bioskop.

           

Jembatan Pasopati

Maria memarkirkan motor temannya di pinggir sisi jalan jembatan. Aku mengikuti saja.

“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaargh!” Maria berteriak pada debu, pada angin, pada senja menuju malam.

“Siang tadi Jojo bilang dia ada kegiatan danus sama temen-temennya, Nik!” Maria berusaha mengendalikan tangisnya.

“Aaaaaaaaaaaaaaaaaargh!!” aku ikut berteriak.

“KENAPA? KENAPAAAAAAAAAA?” Maria kembali berteriak. Kulit putihnya berubah merah, air matanya tumpah, seperti tomat matang disirami air.

Bila ada kompetisi berteriak, Maria akan jadi juara pertama, paling tidak juara favorit.

Di atas jembatan ini, tampaklah kami berdua sebagai dua orang perempuan yang sedang stres, berteriak-teriak tak karuan di pinggir jembatan layang. Bila aku sedang berkendara dan menemukan pemandangan yang sama di jembatan ini, tentulah aku pun akan terheran-heran. Mungkin pula akan aku panggil pak polisi, takut terjadi hal yang tak diinginkan.

Lihat selengkapnya