Setiap bidak berada di dalam kendali seorang pemain. Terutama keputusan dalam melangkah. Setiap langkah sepenuhnya ada di dalam kendali pemain.
***
Pagi ini aku langsung ke kos Maria. Dia masih teronggok di atas kasur layaknya sebuah daging terbungkus plastik di dalam lemari pendingin, kaku tak bergerak sedikitpun. Bergolek memeluk bantalnya membelakangiku.
“Mar, mending kamu ketemu sama Jojo hari ini.”
“Ngapain?”
“Ya minta penjelasan.”
“Males.”
“Bukan masalah males atau nggak males, Mar. Ini soal kelanjutan hubungan kamu sama dia.”
“Terus, masa gue yang minta ketemu duluan?”
Aku terdiam sejenak.
“Gue nunggu dia yang ajak ketemu aja.” jelas Maria.
“Kalau dia nggak ajak-ajak ketemuan gimana?” balasku.
“Ya udah aja, berarti tandanya kita putus.”
“Menurut kamu, putus dengan cara yang kayak gitu, kamu bakal tenang? Yakin?”
“Ya terus gimana, Nik?”
“Kamu ajak ketemu dong! Minta penjelasan, selesein dengan ngobrol. Sekarang kamu tenangin diri dulu, jernihin pikiran. Biar nanti bisa ngobrol pake kepala dingin, nggak pake emosi, selesein baik-baik. Udah! Selesai! Nggak usah nangis-nangisin lagi orang yang nggak berhak kamu tangisin…”
Kali ini Maria yang terdiam.
“Lagi nggak mood.” katanya lagi.
“Yaudahlah terserah kamu, udah makan belom? Kita cari sarapan, ayo!”
“Males.”
“Ampuun deh Mar! Ayo keluar! Jangan di kamar aja!” aku menarik-narik tangannya.
Maria menampik ajakanku.
“Yaudah aku keluar duluan cari sarapan ya...”
Maria masih diam saja.
Aku pun segera keluar. Aku belikan dia bubur ayam langganan kesukaannya, juga satu porsi untukku. Tak butuh waktu lama untukku kembali ke kos Maria dan meletakkan bubur miliknya didekatnya lalu kubuka tutupnya. Sengaja, supaya aroma bubur menggugah seleranya sehingga dia mau lepas dari kasurnya.
“Nih sarapan kamu ya, aku sarapan duluan, laper!”
Maria mengintip.
“Udaaaah, ayo makan, laper kan?”
“Iya, dari malem aku belom makan soalnya.” katanya lemah lalu mengambil buburnya.
Aku tersenyum kecil melihatnya.
***
Akhirnya, Maria berencana untuk bicara dengan Jojo, bukan karena permintaanku tadi pagi, tapi karena dia juga sudah tak tahan harus menghabiskan waktu memikirkan apa yang telah dilakukan Jojo tanpa penjelasan apa-apa. Sejak kemarin, Jojo juga tak mengabarinya apa-apa.
Tapi Maria mengajakku bersamanya, dia mau aku ikut turut menemaninya. Dalam arti menemani adalah, dia ingin aku tak perlu ikut campur, tapi cukup duduk didekatnya saja.
Mereka berdua berjanji bertemu di dekat kampus, jam empat sore, di sebuah tempat makan yang cukup nyaman untuk mengobrol hal yang private karena jarak tempat duduknya yang jarang-jarang.
Aku dan Maria sudah terlebih dahulu tiba. Maria memilih tempat duduk yang paling ujung, meja nomor dua puluh. Untungnya hari ini hari minggu, dimana tidak banyak mahasiswa berkeliaran di kampus.
“Loe duduk di meja sembilan belas ya.” pintanya.
Aku mengisyaratkan kata ok dengan jemariku. Lima menit kemudian, Jojo datang. Jojo melihatku duduk di sebelah meja Maria, mungkin dia tak paham mengapa aku ada bersama mereka. Tanpa menyapa atau bertanya, dia kembali berjalan ke meja tempat Maria sedang duduk.
Aku ambil earphone dari dalam tas dan memakainya. Pura-pura mendengarkan musik. Supaya tidak terlihat sedang mendengarkan pembicaraan mereka berdua.
“Udah pesan?” tanya Jojo.
“Belum.”
“Mas!” teriak Jojo pada pelayan didekat situ.
Selesai memesan, mereka berdua terlihat sungguh awkward. Saking canggungnya sampai aku benar-benar merasa tak nyaman ada di dekat mereka.
“Jo...” Maria memulai pembicaraan.
“Inget nggak? Kita ketemu di semester-semester awal, dari situ kita mulai deket, tapi kita baru pacaran di semester enam. Karena awalnya gue nggak suka sama loe..”
Jojo mengangguk-anggukan kepalanya tanda setuju.
“Tapi loe terus deketin gue. Kita mulai banyak ngabisin waktu bareng, ngerjain tugas bareng. Rasanya loe jadi kayak sahabat baik buat gue.”
Jojo diam mendengarkan.
Aku duduk di meja sebelah mereka dan posisi dudukku menghadap ke arah Maria. Tanpa mengubah posisi, dari ujung mataku, terlihat Maria mulai menyeka matanya.
“Gue inget, beberapa bulan belakangan ini, loe agak berubah. Tanpa sepengetahuan loe, gue mulai penasaran dan cek hp loe. Gue baca chat, liat foto-foto di gallery. Gue juga cek medsos loe. Gue liat loe nge-like foto-foto cewek. Terus tiap gue tanya ini siapa dan itu siapa, gestur loe nggak nyaman, kayak ada sesuatu yang loe sembunyiin dari gue. Terus loe juga bilang bakal berhenti follow atau like cewek-cewek nggak jelas itu, tapi sebenernya nggak loe lakuin.”
Jojo menghela nafas, lalu menundukkan kepalanya.
“Inget nggak? Waktu itu, loe ajak gue makan, tapi tiba-tiba loe batalin gitu aja. Taunya loe ngajak cewek lain. Gue liat loe sama cewek lain, Jo...”
What? Maria tak pernah cerita soal itu kepadaku.
“Gue balik ke kos, nangis semaleman.”
Jojo menghela nafas lagi.
“Boleh gue yang ngomong sekarang?”