Posisi pion berada di depan, raja dan ratu di tengah bagian belakang, benteng disimpan paling ujung belakang. Kita pun ditetapkan lahir di tempat yang berbeda-beda. Lahir di tempat dengan lingkungan yang baik atau yang buruk. Kita tidak bisa mengendalikannya.
***
Bandung, 2000
Naka berulang tahun yang ke dua belas.
“Happy birthday, Naka! Happy birthday, Naka!”
Aku ikut bernyanyi tapi mataku fokus tertuju pada lilin yang berjumlah dua belas itu. Setelah selesai bernyanyi aku langsung beranjak menuju kue yang ada di atas meja.
“Niki tiup yaa!” kataku dengan mulut monyong langsung meniup.
Dengan sigap Naka mengambil dan menjauhi kuenya. Lalu Mami pun mengambil badanku supaya Naka dapat segera meniup kuenya.
“Aku mau tiup, Kaaak!” aku gusar.
Hobiku adalah meniup lilin, aku tidak bisa kehilangan kesempatan meniup setiap lilin yang menyala. Aku bisa hidup bahagia hanya dengan meniup lilin demi lilin.
“Ayo Naka, cepet tiup!” suruh Mami kemudian menutup mulutku.
“Horeee…!” kata Mami dan Naka sambil bertepuk tangan. Delapan lilin redup sudah. Masih ada empat yang menyala. Tapi Naka segera meniup sisanya.
Aku tidak terima, aku kecewa dan menangis kencang karena tidak berhasil mendistribusikan keinginanku, meniup lilin.
“Sini dinyalain lagi lilinnya ya.” Mami mencoba menghibur.
“Sini-sini aku peluk.” Naka mengibarkan kedua tangannya.
Tanpa berpikir panjang aku jatuh dipelukan Naka dan tangisanku pun semakin menjadi. Semuanya tertawa. Kecuali Papi yang masih sibuk di depan pekerjaannya di atas meja. Sesekali Papi terlihat tersenyum melihat tingkahku.
***
Di tempat tinggalku, tak ada teman perempuan sebaya yang bisa ku ajak bermain. Yang ada hanyalah seorang anak lelaki, anak tunggal yang rumahnya tepat berada di sebelah kiri rumahku. Seno namanya. Dia seumuran denganku.
Suatu siang, Seno mengajakku bermain petak umpet di halaman depan. Tapi Seno ternyata masuk bersembunyi ke dalam rumahnya. Seno memanggil-manggil namaku dan menyuruhku masuk, aku ikuti saja. Lalu kami berdua main petak umpet di dalam rumahnya.
Seno kelelahan. Di dalam rumahnya, ada banyak sekali macam mainan. Meski tak ada mainan untuk perempuan, aku cukup menyenangi main mobil-mobilan, terutama jenis mobil yang bila ditarik ke belakang dia akan melaju kencang dengan sendirinya.
Mungkin karena aku lebih sering bermain menggunakan mainan Naka, aku menjadi lebih hafal mainan lelaki ketimbang mainan perempuan. Hal yang sangat perempuan dariku hanyalah aku memiliki Luna.
Rumah Seno kosong. Tak kulihat ada seorangpun di dalamnya kecuali ayah Seno. Ayahnya mendatangi kami yang sedang asik bermain. Lalu juga ikut bermain. Kami semua senang dan tertawa kala mobil-mobil itu bisa meluncur jauh ke sudut-sudut ruangan. Saat aku mengambil mobil yang terjebak di dekat tangga, ayah Seno mendekatiku.
Aku digendongnya. Entah bagaimana kemudian bibirnya ditempelkan kepada bibirku. Beberapa kali, hingga basah. Aku kaget! Dia menurunkanku di atas anak tangga, badannya menghalangiku supaya aku tidak lari. Dia membuka resleting celananya. Dengan sigap sekaligus takut, aku berlari sekencang-kencangnya dari rumah itu. Dan sejak saat itu, aku tak pernah lagi bermain dengan Seno.
Aku ketakutan. Aku tak berani menceritakan apa yang baru saja terjadi kepada siapapun. Aku sungguh trauma melihat ayah Seno. Sejak hari itu, aku tak mau lagi bermain di dekat rumah Seno.
***
Beberapa hari setelah kejadian itu, aku sedang bermain dengan Naka. Dan Naka mengeluarkan mainan mobil-mobilannya, mobil-mobilan yang ditarik mundur sama seperti milik Seno. Pikiranku membawaku kembali ke momen di sudut ruangan rumah Seno.
“Kak, tau nggak?”
“Tau apa?”
“Tapi ini rahasia ya. Jangan bilang ke Mami Papi.”
“Nggak usah bisik-bisik dong, nggak kedengeran. Kenapa sih?”
“Waktu itu kan, aku main petak umpet sama Seno.”
“Terus?”