Raja dan ratu sebenarnya tidak terlalu peduli satu sama lain. Hanya saja, seorang raja sangat bergantung kepada bidak catur yang lain, terutama kepada ratu untuk kelangsungan hidupnya. Bila memungkinkan, setiap pion yang dapat maju sampai ke posisi paling depan akan diganti seluruhnya menjadi seorang ratu. Lebih banyak ratu, lebih baik. Dan ratu pun harus senantiasa melindungi raja supaya permainan dapat berjalan langgeng.
***
Selesai mendengarkan percakapan Maria dan Jojo, aku sedikit mulai mengurungkan diri untuk bertemu dengan Abi. Waktuku hanya akan terbuang sia-sia. Dari penjabaran Mami saja, sedikitnya aku sudah mendapatkan kesan yang kurang menyenangkan dari kepribadian Abi.
Tapi aku tetap memanaskan mobil. Mencoba berdama dengan kemauan Mami Papi.
Ya, paling lama berapa jam sih ngobrol? Anggap aja dapet temen baru. Bisikku kepada diriku sendiri.
Jam 7.30 aku sampai di parkiran hotel. Aku berjalan menu lobby. Masuk ke dalam lift yang kosong, aku tekan tombol 18 lalu chat Kak Abi mengatakan aku sudah sampai. Begitu aku sampai di lantai 18, balasan chat datang berisi nomor meja.
“Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?”
“Iya, saya sudah ada janji, di meja nomor 13.”
“Oiya, sebelah sini mari.” seorang pelayan membawaku. Kemudian terlihat seorang lelaki muda duduk sendiri.
“Silahkan duduk…”
“Terima kasih.”
“Halo...!” Abi menyapa dengan senyuman sumringah lalu memberikan tangannya.
“Iya, halo, maaf ya terlambat.” aku jabat tangannya.
“Nggak apa-apa kok, santai aja. Langsung pesan aja ya, ini menunya. Aku tadi udah liat-liat.”
“Ok.” saat melihat harga di menunya, aku cukup terkesima. Karena sepanjang hidup dengan Mami Papi, aku tidak pernah makan-makanan semahal ini. Lagipula, Mami dan Papi memang tidak pernah membawaku kemana-mana.
“Kalau udah mau pesen bilang aja ya.”
“Ok”
Beberapa menit kemudian kami memesan.
“Pesan apa Niki?”
“Braised Short Ribs, minumnya mineral water yang dingin ya”
“Kalau saya, tenderloin, minumnya samain aja.”
“Baik, saya ulangi ya, braised short ribs satu, tenderloin satu dan mineral water dingin dua ya, sudah betul pesanannya? Mau pesan dessert-nya juga sekalian?”
“Mau dessert apa Niki?”
“Nggak deh, udah itu aja.”
“Itu aja dulu Mas.”
“Baik terima kasih, ditunggu…”
Lalu tinggal kami berdua saja. Ada kaku mengisi situasi. Abi mendeham. Aku tak bereaksi. Aku mengamati sekitar, tak banyak orang yang sedang makan. Sepanjang yang kulihat hanya ada dua pasang, itu pun mereka duduk di bagian dalam.
“Waktu itu aku pernah ke rumah Niki, inget nggak?”
“Iya ya? Mami pernah cerita sih, tapi aku lupa.”
“Oh, waktu itu kita ngobrol bertiga sama Naka. Kayaknya Niki masih SMA deh.”
“Udah lumayan lama berarti ya.”
“Yaaa, lumayan juga, kurang lebih enam tahun yang lalu kayaknya.”
Aku tak tertarik mencari topik pembicaraan sebenarnya, tapi aku pikir aku perlu tahu lebih banyak tentang lelaki ini.
“Jadi kemarin gimana skripsinya?”
“Oh iya, maaf kemarin itu pas aku mau jawab malah ketiduran. Belum mulai, baru selesai PKL. Masih cari-cari judul.”
“Udah mulai pusing-pusingnya ya?”
“Yaaa, lumayan.”
“Ambil peminatan apa di psikologi?”
“Ambil klinis.”
“Klinis itu berarti ngapain tuh?”
“Belajar tentang, gimana ya, yaa belajar kondisi psikologi seseorang, apakah ada gangguan, apakah perilakunya normal atau abnormal.”
“Oooh, ya-ya, ngerti-ngerti.”
“Kak Abi, kerja dimana?”
“Panggil Abi aja, aku kerja di DJP.”
“Apa tuh?”
“Dirjen pajak.”
“Oooh, aku nggak begitu ngerti sih tentang pajak.”
Abi hanya menanggapiku dengan senyuman.
Setelah berbasa-basi lumayan lama. Makanan kami pun datang. Pelayan meletakkan satu-persatu makanan yang kami pesan.
Dengan agak menunduk, aku mulai memotong steak di depanku. Lalu, dari ujung mata, aku bisa melihat Abi berdiri dan mendekat kepadaku, tangannya hendak menyentuh bagian di dekat wajahku. Spontan saja, alam bawah sadarku mengirimkan sinyal untuk memiringkan badan ke kiri lalu kaki kananku naik ke atas untuk menangkis tangannya. Saat kulihat ia akan jatuh, aku ambil tangannya supaya dia tidak terpelanting.
Aku sendiri kaget bukan main. Semuanya terjadi begitu cepat.
“AHH!” teriaknya sembari memegangi tangannya yang kesakitan juga dengan wajah yang masih terkaget-kaget.
“Maaf-maaf.” aku melepaskan tangannya dan berdiri dihadapannya, tak tahu harus bagaimana.
Tak lama Abi pun berdiri dan kembali ke tempat duduknya. Beberapa pasang mata dari dalam memerhatikan kami berdua, mungkin mereka mengira kami sedang main gulat UFC.
“Maaf Abi, aku nggak sengaja. Refleks gitu aja.”
“Niki, kamu… bisa bela diri?” tanyanya masih meringis.
“Iya, aku pernah taekwondo.” jawabku sambil melihat dia yang sedang kesakitan.
“Pantesan.”
“Sabuk hitam.” sambungku, dengan tersenyum bangga aku menyebutnya.
Abi pun tersenyum, senyum yang menggambarkan rasa tak percaya.
“Tadi itu, aku lihat ada semut di rambut kamu, jadi aku mau coba ambil.” jelas Abi.
"Oooh, iya maaf ya, aku nggak sengaja. Badanku suka spontan aja kayak gitu.”
“Iya nggak apa-apa, tapi, kamu, kuat juga ya.”
Aku hanya tersenyum malu.
Sambil menyantap makan malam, sesekali Abi memegangi tangannya.
“Tangan kamu gimana?”
Dia tersenyum kecil, “nggak apa-apa kok, tapi ya, lumayan juga buat tenaga cewek.”
“Keseleo nggak? Coba aku liat dulu, kalo keseleo biar nanti aku cariin tukang pijit.”
“Nggak-nggak, nggak usah, nggak apa-apa kok. Cuma masih sakit aja. Nanti juga hilang sendiri.”
Aku jadi merasa tidak enak. Mungkin ini adalah definisi dari gagalnya kencan pertama.
“Aku ke air dulu ya.”
Aku mempersilahkan.
Antara kasihan dan ingin tertawa sebenarnya. Entah kenapa badanku selalu spontan melakukan defense kala merasa tidak nyaman dengan seorang lelaki. Semoga tangan Abi tidak perlu dilakukan treatment apa-apa.