Saling memakan adalah prinsip di dalam permainan catur. Kita tidak bisa menang tanpa memakan bidak lawan. Begitu pula sebaliknya. Seperti kehidupan manusia yang setiap hari bergantian menang dan kalah dalam memakan ego-nya sendiri.
***
Hari Senin, hari kembali aku harus bekerja. Juga kembali dengan skripsi yang belum memiliki kemajuan. Tadi malam aku menyempatkan membeli sebuah blackforest dan lilin kecil dua puluh satu buah. Maria hari ini berulang tahun.
Setelah bersiap mengenakan kemeja kerjaku yang berwarna hitam. Aku membawa kue blackforest ke dalam mobil dengan sangat hati-hati. Dan segera meluncur ke kos Maria yang berjarak kurang dari seratus meter dari sini.
Sesampainya di depan kamar Maria, aku susun terlebih dahulu lilin demi lilin, lalu menyalakannya. Kubuka pintu.
"Happy birthday Mamar! Happy birthday Mamar! Happy birthday! Happy birthday! Happy birthday Mamar! Horeeeeee, Maria akhirnya lebih tua daripada aku!."
Maria yang masih tergeletak di atas kasurnya kemudian bangun. Mengucek-ngucek matanya yang penuh dengan kotoran lalu melihatku.
"Aduuh! Pagi-pagi udah berisik!"
"Mar! Cepet Mar tiup lilinnya! Ini udah mau meleleh, cepetan!"
Ekspresi wajah Maria datar saja, nyawanya belum terkumpul sepenuhnya.
"Mar! Cepet! Yaudah aku tiup ya!"
Selesai meniup semua lilin yang banyak itu, aku simpan kue blackforest di depan Maria lalu bertepuk tangan.
"Horeeeee!"
"Yang ulang tahun siapaaa, yang tiup lilin siapa!"
"Hahahaha... abisnya lama banget sih, liat tuh lilinnya hampir meleleh semua."
Maria pun turun ke bawah kasurnya. Aku nyalakan kembali lilin-lilin itu.
"Tapi cepet ya tiupnya, ini udah mau abis lilinnya."
"Ya Tuhan, kenapa gue punya sobat sebawel ini Ya Tuhan..."
"Udah tuh, cepet tiup!"
Selesai meniup lilin, Maria mulai berdoa. Selesai memejamkan matanya, masih dengan posisi berdoa dengan tangan yang dikepal didadanya, Maria mulai berbicara.
"Ya Tuhan yang Maha Kasih, terima kasih telah memberikanku sahabat seperti Niki, meskipun dia selalu memakai baju hitam seperti hendak ke kuburan, tapi hatinya seputih kapas. Dia selalu berusaha ada untuk aku dan mengerti keadaanku."
"Aaamin, Ya Allah, Amin."
"Amin apa sih loe? Orang gue lagi berterima kasih."
"Hahahaha..."
"Makasih ya, Nik! You're the best!" Maria datang memelukku.
"I know."
"Sial! Eh, gimana kencan loe tadi malem?"
"Hahahaha. Kencaaaan. Cringe-cringe gimanaaaa gitu aku dengernya."
"Ya kan emang kencan."
"Ya, you know lah, nantilah aku ceritanya. Aku harus berangkat nih. Gimana kamu hari ini? Tadi malem nggak nangis lagi kan?"
"Nangis sih nggak, cuma masih sedih aja."
"Ya wajarlah, yang penting kamu udah melakukaan hal yang keren."
Setelah saling curhat dengan Maria sesingkat-singkatnya, aku kembali pergi ke pengadilan. Tak lama datang sebuah chat.
Dari Bu Maryam:
Assalamu’alaikum Niki, hari ini ada persidangan mulai dari jam 10 pagi.
Kamu tolong kerjakan dulu laporan, nanti saya tinggalkan job-desk nya di meja.
Kalau sudah selesai, boleh ikut persidangan. Langsung masuk aja ya, nanti bilang saja asisten Bu Maryam.
Sebelum ke pengadilan, aku terlebih dahulu membeli es americano. Rasanya hari ini aku membutuhkan doping untuk bekerja dengan baik, juga tentunya supaya tidak mengantuk.
Sesampainya di pengadilan, aku bertanya kepada Dila, orang yang juga bekerja bersama Bu Maryam, tentang persidangan pagi ini.
“Jadi ceritanya, ada orang tua yang membunuh anaknya, anaknya ini bayi berumur dua bulan. Baru dua bulan, Nik! Gila nggak? Tapi ibunya keukeuh membela dirinya kalau itu bukan pembunuhan tapi kecelakaan. Ayah ibunya ini, mereka pasangan yang udah lama pake, alias pemakai drugs. Mereka juga menuduh anaknya yang pertama, umurnya lima belas tahun, kalu dia ini yang bunuh adiknya itu. Anak bayinya ketemu di dalam sumur. Dibungkus rapih pakai box gitu. Kalo dibungkus rapih, ya jelas nggak mungkin kecelakaan dong, Nik. Ini pasti udah direncanain.”
“Beneran itu? Kok ada ya yang tega kayak begitu?”
“Fyuhhh, kalo kamu nanti jadi pegawai tetap disini, siapin mental aja pokoknya.” dengan mudahnya Dila menakutiku.
Di dalam Persidangan
Saat aku masuk ke dalam, aku mencari-cari tempat Bu Maryam. Setelah ketemu, aku memberi salam dan langsung duduk di sebelah beliau.
Terlihat seseorang sedang memberikan sumpahnya. Bu Maryam kemudian menjelaskan progress persidangan dimana sekarang pengadilan mendatangkan seorang saksi, seorang orang tua asuh yang pernah mengasuh Daud, anak bayi yang dibunuh, selama dua belas hari.
Seorang jaksa tengah siap untuk berbicara.
“Selamat pagi, Ibu, boleh disebutkan nama lengkap Ibu siapa?”
“Nama saya Ayunda Putri Kirana. Nama panggilan saya Ayu.”
“Baik. Ibu Ayu, apakah pekerjaan Anda?”
“Saya seorang guru sekolah dasar di sebuah sekolah swasta.”
“Sudah berapa lamakah Anda menjadi seorang guru?”
“Kurang lebih, lima belas tahun.”
“Dalam selama kurun waktu tersebut, berapa usia murid yang pernah Anda ajar?”
“Kelas satu selama sepuluh tahun, dan kelas dua selama lima tahun.”