Dalam catur, kita tidak bisa berbaik hati dengan lawan. Tidak ada cerita soal berbaik hati. Orang baik, seringnya selalu kalah.
***
Bandung, 2003
Suatu waktu, aku menemukan Mami menangis di dalam kamarnya. Mengetahui aku terpatung di depan kamar, Mami menutup pintu agak kencang. Aku kaget. Dengan langkah bingung aku bergegas menuju kamar. Meski samar, masih dapat terdengar isak tangis dari kamar Mami.
Mami dan Papi, keduanya bekerja dan kami sangat jarang memiliki waktu untuk berbicara. Aku ingin bermain dan berbicara tentang kesukaanku dengan mereka berdua, tapi mereka tak pernah memiliki waktu untuk hal semacam itu denganku.
Makan malam kali ini agak berbeda dengan makan malam lainnya, hari ini hari libur dan kami diminta menunggu Papi pulang. Katanya sedang dijalan dan akan sampai sebentar lagi.
Sejak sore Mami sudah memasak berbagai macam makanan. Aku tak sabar ingin segera menyantapnya. Aku dan Naka yang bosan menunggu akhirnya bermain gelitik-gelitik sampai terbahak-bahak. Mami hanya menatap kami berdua dengan senyum kecil. Karena Papi tak kunjung tiba, Mami menyuruh kami memulai makan terlebih dahulu. Selesai makan aku dan Naka kembali bermain dan bercanda.
Mami masih duduk di ruang makan. Makanan yang sudah disiapkan telah dingin. Kemudian Mami berdiri dan mengambil semua makanan yang ada di atas meja lalu membuangnya ke tempat sampah cepat-cepat. Dadanya naik turun.
Malam-malam, aku terbangun karena mendengar kebisingan dari lantai bawah. Suara Mami dan Papi. Aku langsung teringat Naka. Aku membuka dan menutup pintu kamarku dengan sangat pelan. Dan masuk ke kamar Naka.
“Kak!”
“Apa Niki?” suaranya parau.
“Aku tidur disini ya.” pintaku.
Terdengar suara barang terlempar kesana kemari. Akhir-akhir ini Mami dan Papi memang sangat sering bertengkar. Aku melihat Naka yang membelakangiku, aku hanya bisa menangis, dan memeluknya erat dari belakang. Naka berbalik, lalu mengusap rambutku.
“Udah nggak apa-apa, tidur lagi aja ya.” Naka mencoba menenangkanku.
Hanya ada suara Mami dan Papi meramaikan malam. Tangan Naka berhenti mengusap rambutku. Dia sudah kembali tertidur.
Beberapa saat kemudian suasana menjadi sepi. Entah apa yang sedang terjadi. Aku takut, aku bingung. Ada apa dengan Mami dan Papi? Kenapa Mami sering menangis? Kenapa akhir-akhir ini Papi selalu terlambat pulang dan marah kepada Mami? Aku merasa sangat kesepian. Tanpa kusadari, aku pun mulai tertidur.
Tengah malam Papi datang ke kamar. Membangunkanku. Tapi wajahnya pucat, begitu pucatnya sampai sulit kukenali wajahnya. Tapi aku senang akhirnya Papi mau mengajakku bermain. Papi melebarkan kedua tangannya lalu aku berlari memeluknya. Papi mengajakku menonton Tom and Jerry, kartun kesukaanku. Kami berdua menonton di ruang TV. Papi ikut menonton dan tertawa bersamaku.
“Niki, ayo kita main tenda-tendaan.”
“Beneran Pi? Ayo!” aku tersenyum lebar sampai semua gigiku terlihat. Aku teramat senang bisa bermain lagi bersama Papi.
“Kita bikin atapnya dari selimut, kamu ambil ujungnya tarik sampai ke pinggir sofa ya. Nih si bantal-bantalnya kita simpan di bawah. Jadi tempat tidur deh!”
“Horeeee…!”
“Ayo sini tidur sama Papi.”
Aku mengangguk cepat.
“Pi, tadi Papi sama Mami kenapa berantem?”
“Nggak apa-apa kok. Mami sama Papi cuma berantem kecil aja. Kamu nggak usah pikirin ya…”
Aku peluk badan Papi. Papi membelai rambutku.
“Sekarang udah malam, kita bobo ya. Berdoa ke Allah, minta Papi dan Mami nggak berantem lagi.”
Detik demi detik berlalu. Waktu terus berjalan. Beberapa jam kemudian, pagi pun tiba. Semilir angin menyeruak masuk ke dalam celah-celah jendela dan pintu.
Aku terbangun. Dan kusadari Papi sudah tidak berada disampingku. Aku panggil-panggil tapi tak muncul juga.
“Pi? Papiii? PAPIIIIIII?”
Mami keluar dari kamar dan kaget mengetahui aku sedang berada di ruang tv sendirian, bukan di kamarku. Dengan berlari Mami pun mendatangiku dengan wajahnya yang kebingungan.