Lucunya di permainan catur adalah, selalu ada raja dan ratu bersama pion-pion kecil di setiap tim. Seperti sebuah keluarga di dalam kehidupan manusia.
***
Sesampainya di restoran di sebelah pengadilan, Bu Maryam langsung memesankan makanan untuk kami semuanya.
“Aku pesankan aja ya, Niki. Untuk bareng-bareng.”
“Iya Ibu, aku ikut aja…”
Lalu beberapa saat kemudian, Fikri datang bersama Eyang.
Tiba-tiba Bu Maryam mendapatkan telepon.
“Apa kabar, nak Niki?” Eyang menyapaku.
“Baik, Eyang. Eyang bagaimana?”
“Alhamdulillah kalau kamu baik-baik. Saya Alhamdulillah sehat. Sudah pesan?”
“Sudah Eyang, oleh Ibu.”
“Wisnu sama Mika mau kesini katanya.” kata Bu Maryam kepada Eyang setelah menutul teleponnya.
“Ya sudah suruh kesini aja.”
“Sudah, mereka lagi di jalan katanya.”
“Ini Kak Ammar sama Kak Sasha juga chat nanya aku lagi dimana.” kali ini Bang Fikri yang melapor.
“Ya sudah suruh mereka kesini aja semuanya.” jawab Eyang.
Aku kebingungan. Siapakah mereka yang diminta Eyang untuk datang kesini semuanya? Apakah mereka semua keluarganya Bang Fikri? Tersebarlah perasaan tak nyaman ke sekujur tubuhku. Rasanya ingin kuhabiskan makanan dan langsung melompat ke pengadilan. Tapi makanannya pun belum ada yang datang.
Bu Maryam kembali berbicara dihp-nya, memberikan informasi lokasi restoran ini ke seseorang yang berada di telepon itu.
Lima belas menit kemudian datang sepasang suami istri, asumsiku begitu, lalu mereka berdua langsung bersalaman dengan kami semua.
“Halo, saya Ammar, kakaknya Fikri, ini istri saya.” sapa seorang lelaki bertubuh tinggi besar kepadaku, istrinya pun tersenyum lalu mereka duduk di sebelah Eyang.
Saat seorang pelayan mengantarkan pesanan, datang lagi sepasang suami istri yang mungkin umurnya lebih tua sedikit dari Mami dan Papi.
“Assalamu’alaikum… “ kata mereka berdua.
Serentak semua menjawab salam. Dan mereka pun juga menyalami Eyang dan Bu Maryam. Sementara Fikri, Ammar dan istrinya berjalan menyalami mereka. Aku kikuk. Sangat kikuk. Tak tahu harus bagaimana. Akhirnya aku hanya berdiri dan memberi salam dengan menempelkan kedua tanganku ke dada. Mereka membalasnya dengan sikap yang sama.
“Ini asistenku, namanya Niki.” kata Bu Maryam memperkenalkanku.
“Ini orang tuanya Fikri, Niki…” Bu Maryam memperkenalkan pasangan yang baru saja tiba barusan.
“Salam kenal, Niki. Iya-iya, Bunda pernah cerita deh kayaknya.” kata mereka berdua lalu duduk di sebelah Bu Maryam.
Aku mengangguk malu.
“Pesan dulu gih. Kita udah pesan tadi.” pinta Bu Maryam.
Ingin kuhabiskan dengan cepat makan siang didepanku ini. Namun bila makan terlalu cepat, aku akan terlihat seperti orang yang belum makan selama satu bulan. Atau bahkan mereka akan menilaiku seperti perempuan norak yang rakus. Akhirnya aku putuskan untuk makan dengan normal saja.
“Jadi Niki, Fikri ini lima bersaudara. Fikri paling bungsu. Ammar ini kakaknya yang kedua. Sasha ini istrinya Ammar. Kakak yang pertama tinggal di London bersama keluarganya. Kakak yang ketiga baru menikah, tinggal di Jakarta. Yang keempat perempuan, belum menikah, bekerja di Bandung.” Bu Maryam begitu detail menjelaskan keluarga Fikri kepadaku. Rasanya, seperti seorang calon menantu yang baru saja berkenalan dengan keluarga pasangannya. Aku masih tak nyaman duduk disini dengan keluarga besar Eyang. Kepalaku pusing tujuh keliling mendengarkan penjelasan Bu Maryam. Lalu mengangguk-angguk sambil menggigit ayam goreng.
“Itu baru dari satu anak lho, Niki…” tambah Fikri
Semuanya tertawa. Aku pun ikut tertawa, tertawa miris.
Aku benar-benar tak bisa membayangkan bagaimana bila seluruh keluarga Bu Maryam dan Eyang berkumpul di dalam satu rumah.
“Kalau Niki berapa bersaudara?” Ayahnya Fikri yang bertanya.
Aku cepat-cepat menghabiskan nasi di dalam mulutku supaya bisa menjawab.
“Dua bersaudara, Om…”
“Oooh... Pasti kaget ya kalau liat keluarga rame kayak gini.”
“Hehehe..” aku hanya bisa tersenyum.
“Kamu habis darimana Mar, nggak praktek?” tanya Bu Maryam kepada Ammar.
“Kan lagi jam istirahat. Jadi ceritanya tuh, aku ajak Sasha keluar cari makan. Terus inget si anak bocah itu tuh, mau ajak dia makan…” tunjuknya kepada Fikri. “Eh, taunya lagi sama Bunda sama Eyang, jadi ya kita ikut kesini deh.”
Aku hanya bisa mendengarkan satu keluarga besar ini bercakap-cakap, kadang aku tak mengerti karena aku tidak mengenal nama-nama yang mereka sebutkan. Mereka semuanya senang mengobrol sehingga aku tak tahu lagi siapa sedang mengobrol dengan siapa. Aku semakin tidak nyaman.
“Rame ya?” kata Fikri yang duduk di depanku.
“Hehehehe...” lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum. Tak akan pernah ada jawaban yang tepat atas pertanyaan seperti itu di dalam keadaan seperti ini.
“Ini belum apa-apa, Nik. Kalau di rumah, udah bener-bener kayak pasar kaget.”
Aku tertawa.
Makananku telah habis, segera aku pamit.
“Mau kemana, Nak Niki? Masih satu jam lagi sidangnya dimulai.” tanya Eyang.
“Iya, masih ada yang harus dikerjakan, Eyang.”
“Iya, kenapa cepat-cepat? Disini aja dulu. Kan masih pada istirahat…” kali ini Ibunya Fikri yang menahanku.
“Ayo pesan makanan lagi!” kata Ammar.
Aku mencoba membalas sesopan mungkin lalu mengucapkan terima kasih kepada Bu Maryam dan keluarganya, akhirnya aku bebas keluar dari restoran itu.
"Fyuhhhh..." aku hembuskan nafas lega.
Aku pergi terlebih dahulu ke minimarket yang letaknya tepat di depan seberang pengadilan. Sebelum masuk, aku melihat seorang kakek-kakek duduk tertidur di dekat parkir.
Di dalam minimarket aku beli satu botor air mineral dan sebungkus coklat. Aku juga mengambil satu botol air mineral satu setengah liter, roti yang isinya lima buah, dan satu sisir pisang. Di kasir aku meminta belanjaanku dibagi dua.
Keluar mini market aku lihat ada sebuah stand yang berjualan ricebowl. Aku beli satu porsi. Setelah itu aku segera berjalan ke kakek yang masih tertidur tadi.
“Kakek, kek…” sebenarnya aku tak mau mengganggu tidur nyenyaknya, tapi bila kusimpan belanjaan ini begitu saja disampingnya, aku takut akan ada orang yang akan mengambil.
Lalu kakek itu terbangun.