Raja di dalam permainan catur adalah bidak terpenting. Ia juga lawan utama yag harus segera dijatuhkan. Betapa pentingnya peran raja, sama seperti pemimpin di dalam sebuah keluarga. Seorang perempuan hanya akan hidup dengan tenang dan nyaman bila memiliki pemimpin yang kuat didalam keluarganya.
***
Saat sudah sampai di depan gerbang kos, aku meminta Fikri memasukkan mobil ke parkiran didalam.
“Bang Fikri pulangnya gimana?”
“Kakakku yang perempuan nanti jemput. Dia bentar lagi pulang kerja.”
“Oh, ya udah tunggu di lobby aja kali ya?”
“Iya boleh.” jawabnya sambil memarkirkan mobil.
Sesampainya di lobby, aku ikut duduk.
“Lho? Kenapa duduk? Udah kamu istirahat aja.”
“Udah nggak begitu pusing kok. Kalau sambil duduk-duduk nggak apa-apa.”
“Oh… ok.”
Ke-awkward-an mengisi ruang di antara kami berdua.
“Udah lama nge-kos disini?”
"Sejak kuliah aja.”
“Udah tiga tahun lebih berarti ya? Kalau psikologi ada belajar matematika nggak sih?”
“Mmm… nggak ada, sama sekali.”
“Oh, sayang ya…”
“Kenapa?”
"Tadinya aku mau bikin lucu-lucuan garing gitu tapi ada hubungannya sama matematika.”
“Oh, ya nggak apa-apa sih…”
“Nih ya, tebak, buat orang Romawi, aljabar itu nggak menantang, tau kenapa?”
“Uhm, nggak.”
“Karena buat mereka, huruf x itu artinya pasti sepuluh.”
Aku mencernanya sebentar, lalu mengerti dan mengangguk-angguk.
“Nggak lucu ya?”
“Hmm? Mmmm… ehehehehe.” aku justru tertawa karena dia menanyakan leluconnya lucu atau tidak.
“Kalau kamu kedinginan, duduk di sudut ruangan aja, tau kenapa?”
“Kenapa?”
“Karena biasanya sudut ruangan itu sembilan puluh derajat?”
“Waaah, iya bener.” aku tersenyum, masih belum sampai ke tahap tertawa.
“Masih nggak lucu ya?”
“Mmm... bukan soal nggak lucunya sih, malah jatuhnya keren kalau menurut aku.”
“Lho? Kok jadi keren?”
“Ya kok bisa kepikiran gitu…”
“Ini deh, sayuran apa yang bisa kungfu?”
“Apa ya? Nggak tau.”
“Broko-li.”
“Brokoli?”
“Iya, broco-lee, huruf i nya diganti sama double e.”
“Oooh, hahahaha… temennya Bruce Lee ya.”
Bang Fikri nampak semakin semangat melihatku mulai tertawa.
“Kalau Michael Jackson ke Cihampelas, mau beli apa?”
“Uhm, apa ya... nggak tau juga. Nyerah.”
“Bili Jean”
Kali ini aku sungguh-sungguh tertawa.
Lalu seseorang menelepon Bang Fikri. Sepertinya dia sudah dijemput oleh kakaknya.
“Udah di depan gerbang katanya, Nik. Aku pulang ya…”
“Iya, makasih banyak Bang. Salam buat semuanya ya, aku sudah diantar jauh-jauh begini.”
“Ok, kamu langsung diistirahatin.”
“Iya, hati-hati Bang…”
“Nanti kita ketawa-ketiwi lagi…”
“Hehehe, iya.”
Dia melambaikan satu tangannya. “Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikum salam...”
Sesampai di kamar aku senyum-senyum sendiri. Baru kali ini aku merasakan nyaman bersama seorang lelaki selain dengan bersama Naka. Entahlah. Apa yang terjadi padaku?
Rasanya aku ingin bercerita kepada Maria tentang semua ini.
Kepada Maria:
Maaaaaaar.. weraryu?
Maria tak langsung membalas. Sepertinya dia sedang sibuk mengerjakan skripsi.
Di atas kasur, dengan badan yang menghadap ke atas, aku tatapi langit-langit. Dan kembali tersenyum sendiri. Masih teringat olehku lelucon-lelucon yang membuatku tertawa tadi. Ah… ada apa denganku? Pasti ada yang tak beres dengan kepalaku hari ini.
Datang sebuah chat.
Dari Fikri:
Selamat istirahat, Nik…
Oh my God! Rasanya jantungku mau copot.
Entahlah, apakah aku yang terlalu percaya diri? Atau memang terjadi sesuatu padaku? Rasa ini, terlalu sulit untuk kujelaskan. Aku tak yakin. Aku tak tahu. Aku tak paham.
“Balas nggak ya?” tanyaku pada diriku sendiri.
Apa yang terjadi denganku? Seseorang, tolong katakan padaku apa yang terjadi denganku!
Kepada Fikri:
Selamat istirahat juga, Bang… terima kasih.