Benteng hanya mampu berjalan lurus. Kuda berjalan seperti huruf L. Peluncur hanya mampu menyerong. Meski berbeda-beda, tapi mereka lebih kuat karena bersama-sama. Kala perbedaan dapat hidup saling berdampingan, kehidupan dapat berjalan dengan sangat indah.
***
Bandung, 2006
Naka baru saja masuk kuliah dan aku naik ke jenjang SMA. Dan Naka juga sudah tidak tinggal lagi di rumah, Karena dia masuk ke universitas negeri di Jakarta, maka dia pun pindah untuk kos disana.
Baru satu tahun ini kami pindah ke rumah baru. Rumah yang lebih luas, kamar tidurku dan Naka pun lebih luas dan punya kamar mandi sendiri di dalam, ukuran tv yang lebih besar, akuarium ikan super besar berisi air laut bak menonton Finding Nemo.
Rumah ini juga lebih banyak penghuninya. Selain Teh Ima sebagai tukang masak, Bi Kokom sebagai ketua ART dan juga ada Kang Dani, suami Teh Ima, sebagai supir, kemudian ada seorang ART baru, Teh Nani sebagai tukang beres-beres.
Setiap Marggu Naka pulang ke rumah. Dan aku sangat teramat begitu super senang dengan kehadirannya.
“Nik, liat nih aku bawa apa?” Naka mengeluarkan satu kantong plastik berisi sesuatu.
“Apa tuh?”
“Tadaaaa!”
“Yeee, uno stackooo, akhirnya beli juga. Eh, Kak! Ajakin semuanya main yuk!”
Tak lama, kami semua sudah berkumpul di ruang TV. Kecuali Bi Kokom yang sedang asik makan ikan peda kesukaannya. Kang Dani yang sedang mencuci mobil Naka pun aku paksa untuk ikut bermain.
“Kumaha ini teh mainnya?” tanya Kang Dani. Bagaimana ini cara mainnya?
“Tinggal pilih aja mana yang mau ditarik. Tapi jangan sampai jatoh. Yang jatoh berarti kalah, terus dapat hukuman. Setuju nggak?” Naka mencoba menjelaskan sesederhana mungkin.
“Hukumannya apa?” tanyaku.
“Apa ya? Ada ide nggak?” tanya Naka kepada semuanya.
“Yang kalah cuci piring yaa.” Teh Nani ambil kesempatan emas ini untuk lolos dari pekerjaannya.
“Nggak mau aaah…” Aku dan Naka protes.
“Ini aja! Yang kalah makan mie setan!” kata Bi Kokom ikut nimbrung. Dia duduk di samping kami membawa sepiring ikan pedanya. Kaki kanannya naik ke atas untuk menopang piring, dan kaki kirinya dilipat ke dalam. Tentulah permainan ini menarik perhatiannya.
“Boleh juga tuh!” kata Naka dan akhirnya disetujui oleh semua partisipan. Teh Ima pun gesit beranjak ke dapur mengeksekusi mie setan.
Beberapa saat kemudian, susunan uno stacko sudah seperti menara Pisa di Italia. Giliranku tiba lagi.
“Duh, yang mana ya?” aku menganalisa satu demi satu papan uno.
Beberapa saat kemudian, suara klakson mobil bergema dari gerbang diluar. Sepertinya mobil Papi. Karena Mami selalu pulang malam. Kang Dani pun langsung berlari secepat kuda menuju gerbang. Bi Kokom, Teh Ima dan Teh Nani lari terbirit-birit menuju dapur.
“Yaaa.. gimana dong Kak? Jadi nggak asik lagi deh mainnya.”
“Yaudah kita bawa aja ke atas, main di kamar kamu aja.”
Papi masuk ke dalam rumah.
“Wah, main apaan tuh?” tanyanya.
“Uno stacko.” jawabku.
“Papi ikutan boleh dong!”
“Baru aja udahan mainnya” Naka mengedipkan satu matanya padaku.
Ada raut kecewa di wajah Papi.