Bidak Catur

Bimasakti
Chapter #17

17

 Di samping raja selalu ada ratu, begitu pula sebaliknya. Mereka berdua selalu ada mengisi satu sama lain.                                     

   ***

“Niki, nanti siap-siap jam sepuluh ikut persidangan lagi ya.”

“Oh iya Bu.”

“Gimana laporannya sudah selesai?”

“Di-print terus simpan di meja saya ya, saya ada jadwal ke rumah sakit dulu sebentar, nanti kita ketemu di dalam ruang sidang saja ya.”

"Baik Ibu..."

Bu Maryam pergi, Dila pun datang.

“Pagi, Niki…!” sapanya dengan semangat.

“Hai, pagii…”

“Lagi ngerjain apa?”

“Laporan analisa kasus C.”

“Oooh… eh Nik, persidangan sekarang kayaknya tambah seru lho.”

“Oya? Kenapa emangnya?”

“Kalau nggak salah info, hari ini anak tersangka yang pertama, yang masih remaja, hadir buat ngasih kesaksian, yang dia dituduh bunuh adiknya itu lho.”

“Gila ya, aku nggak habis pikir. Juga nih ya, kalau jadi pengacara tersangka, gimana dia bisa tidur dengan kondisi tau kalo yang dia bela itu pembunuh, pembunuh anaknya sendiri, dan masih bayi pula.”

“Yaaa gitulah, kadang hati nurani buta kalau lihat uang. Btw, nanti ikut ke ruang sidang lagi kan?”

“Iya, ikut. Ngeri sih nontonnya, tapi ya mau gimana lagi.”

“Masih adaptasi, Nik. Nggak apa-apa. Belum juga tiga bulan…”

“Ehehehe...” aku tersenyum miris.

“Aku ke ruangan printer dulu ya..”

“Eh, aku juga mau print laporan ini, barengan aja.”

Lalu di jalan menuju ruangan printer, kami berdua terlibat percakapan intense mengenai kasus persidangan Daud, anak bayi berumur dua bulan yang dibunuh oleh orang tuanya sendiri.

                                                  ***

“Udah jam sepuluh, Nik. Yuk!” ajak Dila.

Saat kami masuk ke dalam ruangan, tempat duduk sudah hampir sold out. Beruntung kami diberikan tempat duduk khusus sebagai seorang asisten psikolog.

Tidak lama, tersangka, pengacara, saksi, jaksa, hakim dan masih banyak lagi staf-staf persidangan, mulai duduk satu persatu. Persidangan pun dimulai. Penuntut umum alias jaksa mulai bertanya kepada saksi, yang juga adalah anak tersangka.

“Nama Anda siapa?” tanya jaksa.

“Raka Nataprawira” kata remaja itu mantap. Tak ada kegugupan yang tergambar di wajahnya.

“Usia Anda, berapa tahun?”

“Lima belas tahun.”

“Apakah Anda bersekolah?”

“Iya, di SMA D.”

“Bersama dengan siapa Anda tinggal?”

“Dengan nenek dan kakek.”

“Ok. Sejak kapan Anda tinggal bersama nenek dan kakek?”

“Sejak… kalau tidak salah di awal tahun dua ribu sembilan belas”

“Ok. Kita disini akan bicara mengenai adik Anda, Daud. Apakah Anda dapat memberitahu kepada kami semua, apakah Daud memiliki luka atau sejenisnya?”

“Daud, saya pernah melihat seperti ada bengkak di kepalanya."

“Apakah di tempat bengkaknya ada yang memar?”

“Kelihatannya, iya, ada.”

“Ketika Anda mengatakan kelihatannya, bisa Anda jelaskan apa maksudnya?”

“Warna kulitnya berubah, seperti warna hitam, ungu, ya, seperti memar.”

“Dan dimanakah letak memarnya?”

“Di semua bagian kepala, di bagian atas, di sekelilingnya.”

“Seingat Anda, apakah ada waktu dimana Daud sedang tidak berada di rumah?”

“Iya, ada.”

“Berapa lama?”

“Kurang lebih, dua minggu.”

“Ok. Apakah Anda pernah menanyakan orang tua Anda tentang luka memar yang dialami Daud? Atau apakah orang tua Anda pernah mengatakan apa yang terjadi kepada Daud?”

“Iya, orang tua saya pernah memberi penjelasan tentang luka memar itu.”

“Ok. Siapa yang melakukannya?”

“Ayah saya.”

“Apakah saat itu juga sedang bersama ibu?”

“Pada saat itu, iya, ibu saya sedang berada disitu.”

“Apa yang dikatakan oleh orang tua kepada Anda tentang Daud?”

“Pada saat itu, uhm, saya dijelaskan bahwa kepala Daud tidak sengaja terbentur dinding di kamar saat sedang diayun-ayun untuk tidur. Dan saya sendiri tidak begitu percaya.”

“Ok. Apakah Anda pernah sengaja atau tidak sengaja melukai Daud?”

“Tidak pernah. Satu kalipun, saya tidak pernah melukai adik saya, Daud.” ada rasa geram di dalam suaranya.

“Ok. Apakah Anda pernah diminta untuk memberikan urin Anda oleh orang tua Anda?”

Lihat selengkapnya