Harapan adalah satu-satunya yang bisa diandalkan di kala gelap, di kala tersesat, di kala jatuh. Saat harapan itu tumbuh di dalam dada, di tengah-tengah keputus-asaan, seseorang dapat melangkah lagi.
***
Sepulang dari pengadilan aku segera melaju menuju Naka. Sejak malam aku telah menyiapkan sesuatu yang ingin kutunjukkan padanya: Luna.
Satu minggu yang lalu, Bi Kokom yang sedang memasukkan barang-barang milik Naka yang sudah tidak terpakai dan membereskannya, tanpa sengaja Bibi menemukan Luna dari dalam gudang. Keadaannya sudah usang, kotor dan bau apek. Maka aku meminta Bi Kokom untuk membersihkan Luna sebersih mungkin, sewangi mungkin. Lalu setelah dirasa Luna sudah layak, aku bawa dan simpan ia di kos.
Tak lupa, aku membelikan juga buah-buahan, seperti biasanya buah anggur dan semangka yang sudah dipotong-potong.
Setelah aku sampai. Aku bertemu Lena di dekat pintu masuk.
“Hai Mba Niki!” katanya ramah.
“Hai Lena, apa kabar?”
“Yaaa, aku gini-gini aja. Kamu gimana?”
“Aku baik, Lena. Makasih udah bertanya kabarku.”
“Kamu kan orang normal? Kamu ngapain disini?”
Aku hanya tersenyum.
“Abdul lagi main catur sama teman barunya. Kita liat yuk, ayo...!” ajaknya dengan menarikku paksa.
Aku ikuti Lena tanpa perlawanan. Benar saja, Pak Abdul sedang bermain catur di taman dekat ruangannya, juga ruangan Naka.
Saat kuperhatikan permainan catur mereka, raja milik Pak Abdul sudah tak ada, tapi mereka masih saja bermain. Aku tergelitik melihatnya.
“Ah loe mah orang stress! Masa kuda jalannya kayak begitu? Kuda tuh jalannya lurus!” kata lawan caturnya Pak Abdul.
Entahlah, apakah aku harus ikut campur untuk mengoreksi mereka atau kubiarkan saja? Aku bimbang.
“Ah, loe mah nggak becus!” tambahnya lagi lalu membuang semua bidak di atas papan catur itu sehingga semuanya jatuh berantakan, lalu pergi begitu saja.
Pak Abdul lagi-lagi hanya diam. Aku bantu membereskan dan menyimpan satu-persatu bidak yang jatuh.
“Pak Abdul mau main lagi? Ayo main sama aku!”
“Nggak ah! Sudah bosan!”
“Kamu nggak bisa main catur sih, jadi dia marah tuh!” Lena ikut campur dan menyalahkan Pak Abdul.
Wajah Pak Abdul datar saja. Aku pun tak tahu harus bersikap bagaimana. Aku ikut duduk-duduk saja. Lagipula sudah lama aku tidak mendengarkan percakapan mereka berdua.
“Mau buah anggur nggak?”
“Mau!” jawab Pak Abdul cepat.
“Dia mah, kalau urusan makanan aja, cepet banget jawabnya!” komentar Lena.
“Pak, Pak Abdul disini semakin ini ya…”
“Semakin gila!” jawabnya.
Hampir-hampir saja aku tersedak buah anggur.
“Bukan! Bukan Pak, harus semakin sehat dong. Harus sembuh, ya...”
“Harus semangat!” tambahnya.
“Iya betul.” jawabku.
Aku tersenyum sambil mengupas kulit buah anggur. Aku takut Pak Abdul akan menelan biji dan terseda. Karena kalau ada apa-apa, aku harus bertanggung jawab. Meski membosankan, ya, bagaimana lagi, aku memutuskan untuk mengupas anggur demi anggur.
“Nih…” aku memberikan satu buah kepada Lena, satu buah kepada Pak Abdul dan mulai mengupasi lagi anggur berikutnya.
“Ini gimana makannya?” Pak Abdul nampak kebingungan.
“Ya tinggal masukin aja ke mulut, Pak Abdul.” Nampaknya dia kebingungan karena tidak pernah makan anggur yang dikupas kulitnya.
Lena terkikik-kikik.
“Oh.” dia pun memasukkan sebuah anggur itu ke mulutnya dan mengunyahnya dengan sangat cepat.
“Mau lagi!” pintanya.
“Iya sebentar ya, Pak…”
Jadi orang baik itu memang sulit, ya? Aku mulai menyesali kebaikan hatiku, kenapa aku harus mengupasi anggur itu satu-persatu?
“Lena mau lagi?” tanyaku.
“Mau” jawabnya malu-malu.
“Kok tumben malu-malu gitu sih?” kataku.
“Iya, aku memang malu-malu orangnya.”
“Malu-maluin!” Pak Abdul menimpali.
“Iya, malu-maluin!” Lena setuju begitu saja lalu tertawa.
“Pak Abdul, umurnya berapa?” tanyaku.
“Dua puluh dua!” jawabnya.
Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
“Oh, masih muda, ya. Udah punya pacar belum?” tanya Lena.
“Belum!”
“Kenapa?” tanya Lena lagi.
“Nggak punya uang!”
“Ooo, iya ya, kalau mau punya pacar memang harus punya uang banyak! Pinter juga si Abdul!” Lena bersemangat.
Di titik ini, lagi-lagi aku hanya bisa speechless.
“Harus baik sama pacar. Jangan kayak suami Lena. Aku ditinggal, dua tahun. Eeeh... Lena punya hotel. Lena punya rumah besar. Papi Lena kan dari New York ya, jadi, you knowlah, aku, uhm, sekolah di Belanda, lalu ikut Mami ke Indonesia. Lena suka sekali dengan Indonesia. Pak Abdul kan orang Sunda, bisa bahasa Inggris?”
“Bisa!”
Kepalaku mulai pusing mendengarkan Lena yang mulai ngawur.
“Oh, bisa ya? Uhm, coba kalau gitu Lena tes ya…”
“Iya!”
“Eeeh, what’s your name?”
“My name is Abdul!”
“What’s, what is, eehh, umur? Umur kamu berapa?”