Terkadang, benar-benar sendiri itu lebih baik. Karena hal terburuk adalah sendirian di saat banyak orang disekitar.
***
Bandung, 2008
Aku dan Naka selama kurang lebih satu bulan ini sangat excited karena Mami dan Papi mengajak kami semua pergi berlibur ke Bromo. Ini adalah pertama kalinya aku ke Bromo. Aku sampai menceritakan semuanya kepada Dara, sahabatku di sekolah. Dan Dara juga senang untukku, karena dia cukup tahu keadaan keluargaku seperti apa. Bahkan awalnya dia sempat tak percaya, karena selama ini aku selalu bercerita tentang orang tuaku yang selalu sibuk, jarang sekali berada di rumah.
Karena ini adalah kali pertama, maka sejak bangun tidur aku sibuk membayangkan liburan disana. Aku bangun lebih pagi, sarapan lebih pagi, bersiap mengemasi semua barang-barang yang akan aku bawa. Dan hanya dengan membayangkannya saja aku sudah tersenyum-senyum sendiri. Tak sabar untuk dapat secara langsung melihat pemandangan nyata kawah Gunung Bromo.
Kami akan berangkat siang hari menggunakan kereta. Saat kami sedang menunggu Papi dengan barang-barang yang sudah menumpuk di ruang tengah, Mami mendapatkan telepon. Dan Mami berpindah ke kamarnya masih sambil mendengarkan seseorang bicara di telepon itu.
Lalu terdengar mobil Papi masuk. Aku dan Naka semakin excited. Terbayang-bayang kembali olehku saat tiba disana nanti, aku akan melihat indahnya sunrise dari ketinggian, naik kuda di Pasir Berbisik, belanja souvenir yang keren-keren dan tentunya tidur di hotel yang nyaman, bisa berendam di dalam bathtub dengan air hangat, massage bersama Mami. Imajinasiku berkeliaran.
“Assalamu’alaikum!” Papi masuk ke dalam rumah.
“Wa’alaikum salam.” jawabku dan Naka bersamaan.
“Ayo, Pi. Kita udah siap nih. Aku udah persiapan bawa lima jaket. Takutnya nggak cukup. Soalnya aku baca-baca di internet sekarang tuh di Bromo lagi dingin-dinginnya.” aku sungguh tidak sabar untuk segera berangkat.
“Duduk dulu, duduk sebentar ya.” kata Papi agak terburu-buru.
Di ruang tengah kami duduk bertiga, tanpa Mami. Mami masih dikamarnya belum keluar sejak menerima telepon tadi.
“Niki, Naka. Jadi begini, tiba-tiba Papi ada kerjaan yang nggak bisa ditinggal. Mendadak sekali. Dan tugas ini sifatnya urgent, benar-benar nggak bisa Papi tinggalkan. Jadi, untuk liburan kali ini Papi nggak bisa ikut. Tapi, good news-nya, kalian tetep bisa berangkat kok. Ok?”
Aku dan Naka terdiam. Tak tahu harus menjawab apa.
“Ok ya? Nggak apa-apa kan? Kalian tetap bisa main nanti sama Mami, atau mau ajak Bi Kokom juga nggak apa-apa.”
Kami berdua terdiam lagi. Papi berdiri dan memegang bahu Naka.
“Ok, Naka? Nanti kita rencanain lagi liburan berikutnya.”
Naka tidak berbicara sepatah katapun.
“Ok ya, Niki? Sekarang, Papi harus berangkat lagi. Kalian siap-siap aja ya...”
Papi lalu masuk ke dalam kamar.
Dari dalam kamar Mami dan Papi kembali bertengkar, seperti hobi mereka selama ini. Terdengar jelas olehku percakapan mereka.
“Nggak usah kamu balik lagi ke rumah ini! Apa salah aku? Apa salah anak-anak?” teriak Mami.
“Denger! Denger dulu! Kamu masih bisa pergi sama mereka!”
“Kita udah rencanain ini dari sebulan yang lalu! Mana tanggung jawab kamu? Aku dan anak-anak bukan robot yang bisa seenak hati kamu perintah begini begitu! Aku punya hati! Anak-anak punya hati!”
Aku menangis. Naka hanya diam.
“Kamu seharusnya bisa ada untuk aku! Untuk anak-anak!”
Aku yang masih duduk di atas sofa di ruang tengah, hanya bisa menunduk dan membiarkan air mataku terus mengalir. Lalu aku bersandar ke belakang memeluk tas yang sudah penuh dengan perlengkapan yang sedari subuh siap untuk kubawa.
“Kamu pikir aku yang ingin hari ini dapat tugas keluar kota? Semua ini bukan dalam kendaliku! Aku sendiri juga nggak tau! Bukan aku yang ngerencanain ini!”
“Laki-laki yang bertanggung jawab akan tau prioritasnya!”
“Ok! Aku bukan laki-laki yang baik! Bukan laki-laki yang bertanggung-jawab! Ok! Seneng kamu?”